Mohon tunggu...
Ridwan Arma Subagyo
Ridwan Arma Subagyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Surabaya

Menyukai bidang pemberdayaan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Pemuda dalam Menyukseskan Sustainable Development Goals Desa

18 Maret 2021   08:50 Diperbarui: 18 Maret 2021   09:06 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh

Ridwan Arma Subagyo dan Dicky Eko Prasetio

Desa sebagai institusi sosial-kemasyarakatan terkecil tentunya membutuhkan peran dan sumbangsih pemuda dalam aspek pemberdayaan maupun dalam menghadapi berbagai problematika di lingkup desa (Bintoro Wardiyanto, Siti Aminah, 2016). Dalam hal ini pemuda didudukkan sebagai pengontrol sosial sekaligus pencari solusi dalam berbagai permasalahan di desa. Jika mengacu pada UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan dalam Pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa, “Pemuda  adalah  warga  negara  Indonesia  yang memasuki   periode   penting   pertumbuhan   dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun”. Berdasarkan UU Kepemudaan tersebut, wajar jika kemudian estafet kepemimpinan dan arah kebijakan bangsa hingga pemberdayaan desa menjadi tanggung jawab pemuda.

Peran pemuda menjadi urgen dalam pemberdayaan masyarakat desa apalagi pada akhir tahun 2020 Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia (Mendes PDTT RI) mencanangkan gagasan Sustainable Development Goals Desa (SDGs Desa) yang diberlakukan mulai tahun 2021 (Ridwan Arma Subagyo, 2020). SDGs Desa memiliki 18 tujuan yang diharapkan dapat menjadi pilar pembangunan di desa. Salah satu tujuan dari 18 tujuan SDGs Desa adalah desa damai berkeadilan’ (Iskandar, 2020b). 

Orientasi desa damai berkeadilan adalah untuk mewujudkan pemberdayaan hukum, kesadaran hukum, serta perlindungan hukum bagi masyarakat desa yang tentunya juga membutuhkan peran dan sumbangsih dari pemuda (Iskandar, 2020a). Hingga tahun 2020, setidaknya terdapat lima kasus hukum yang mencuat di dunia maya terutama terkait dengan masyarakat desa yang butuh bantuan dan pemberdayaan hukum. Lima kasus tersebut diantaranya kasus Kakek Samirin yang dianggap bersalah karena memungut sisa getah pohon karet di perkebunan milik PT. Bridgestone dan dihukum 2 bulan 4 hari oleh Pengadilan Simalungun. 

Selain kasus Kakek Samirin, empat kasus lainnya yaitu dialami oleh Nenek Saulina yang dihukum 1 bulan 14 hari, kasus Nenek Asyani yang diancam hukuman 15 tahun meskipun pada tahun 2015 dibebaskan, kasus Anjol Hasim dan Jamilu Nani yang sempat divonis 20 hari sebagai tahanan kota, hingga kasus Nenek Minah yang dihukum 6 bulan penjara (Azanella, 2020). 

Bahkan, hingga akhir tahun 2019 saja, survei Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan terdapat kasus 51 masyarakat di desa adat yang dikriminalisasi juga belum usai dikarenakan belum tersedianya lembaga bantuan hukum di tigkat desa untuk membantu masyarakat desa dalam menghadapi kasus hukum secara cuma-cuma (Putri, 2019). Berdasarkan data tersebut, sejatinya pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dengan menggagas adanya paralegal desa yang diikuti dengan pemberian status desa sadar hukum sebanyak 5.744 desa pada tahun 2020 (BPHN, 2020).

Meski telah dicanangkan sejak pertengahan tahun 2020 namun program paralegal desa masih dianggap belum optimal. Kekurangan program ini adalah tidak diisi oleh orang-orang yang asli desa sehingga mengakibatkan kurang mengenal karakter serta budaya masyarakat desa secara inkusif. Selain itu, kegiatan yang dilakukan lebih bersifat pasif, artinya hanya menunggu adanya permasalahan hukum masyarakat desa dan sebatas bertindak sebagai penasihat hukum bagi masyarakat desa. 

Padahal, masyarakat desa juga membutuhkan perlindungan sekaligus pemberdayaan hukum yang akan lebih optimal jika dilakukan oleh para pemuda asli desa yang dianggap lebih mengerti serta lebih mudah membaur di masyarakat desa. Oleh karena itu, tulisan ini menggagas adanya komunitas paralegal desa yang diisi mayoritas pemuda desa untuk melakukan perlindungan hukum serta pemberdayaan hukum secara masif pada masyarakat desa.

Upaya perlindungan sekaligus pemberdayaan hukum bagi masyarakat desa penulis orientasikan untuk dibentuknya Komunitas Pemuda Paralegal Desa (Koppada). Koppada yang penulis gagas sejatinya merupakan pengembangan dari gagasan BPHN yang menegaskan adanya paralegal untuk setiap desa. Paralegal merupakan individu atau kumpulan individu yang dapat memberikan bantuan hukum yang bukan bertugas untuk menggantikan advokat melainkan membantu tugas advokat dalam menyelesaikan permasalahan hukum di masyarakat (Muhamad Daerobi, 2019). 

Paralegal sebagaimana yang digagaskan oleh BPHN sejatinya merupakan hal yang progresif terutama bertujuan untuk membantu masyarakat desa dalam mendampingi dan menyelesaikan permasalahan hukum (Albert Wirya, Ajeng Larasati, Sofia Gruskin, 2020). Meski begitu, menurut hemat penulis, paralegal desa yang digagas oleh BPHN memiliki dua kelemahan substansial, yaitu: Pertama, paralegal desa yang digagas oleh BPHN hanya bersifat ‘pasif’’ yang menunggu adanya permasalahan hukum pada masyarakat desa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun