Apakah kalian bertanya-tanya tulisan ini benar-benar karya saya, atau buah pikiran AI? Wajar saja jika Anda mencurigainya karena faktanya, esai ini memang lahir dari diskusi interaktif saya dengan teknologi tersebut. Berdiskusi dengan AI belakangan ini menjadi aktivitas menarik untuk mengisi waktu luang. Bagi saya, AI menawarkan banyak manfaat, asalkan kita senantiasa menjaga pandangan kritis. Sebab, dalam banyak kasus, AI sering kali menyajikan informasi yang keliru, sehingga pemahaman dasar tentang subjek yang dicari tetap esensial sebelum memanfaatkan teknologi ini.
Dalam era digital yang terus berkembang pesat, kehadiran Kecerdasan Buatan (AI) generatif telah membawa revolusi, tidak hanya dalam cara kita bekerja dan belajar, tetapi juga dalam mendefinisikan ulang konsep fundamental seperti kepengarangan dan plagiarisme. Diskusi kami telah menyentuh inti perdebatan ini: apakah menyalin-tempel teks yang dihasilkan AI dapat dikategorikan sebagai plagiarisme?
Secara tradisional, plagiarisme didefinisikan sebagai tindakan menyajikan karya atau ide orang lain sebagai milik sendiri tanpa atribusi yang layak. Fokus utama sering kali ada pada pelanggaran hak cipta, di mana hak kekayaan intelektual seorang pencipta dilanggar. Namun, ketika membahas output AI, situasi menjadi lebih kompleks. Poin krusialnya  adalah bahwa, berdasarkan sebagian besar undang-undang hak cipta global, termasuk di Indonesia, hak cipta diberikan kepada manusia sebagai pencipta. AI, sebagai entitas non-manusia, tidak diakui sebagai subjek yang dapat memiliki hak cipta. Ini berarti, secara hukum, AI tidak dapat "menggugat" jika karyanya disalin, dan output AI itu sendiri seringkali dianggap berada dalam domain publik atau tanpa pemilik hak cipta eksplisit, kecuali ada intervensi kreatif yang signifikan dari manusia.
Namun, di sinilah letak perbedaan pandangan muncul. Meskipun secara hukum hak cipta mungkin tidak dilanggar, menyalin mentah-mentah teks AI dan menyajikannya sebagai karya orisinal tanpa modifikasi dan atribusi yang jelas sangat mungkin dianggap sebagai bentuk plagiarisme atau, lebih tepatnya, pelanggaran integritas akademik dan profesional. Mengapa demikian? Karena inti dari tindakan ini adalah menyesatkan pembaca atau penilai mengenai siapa "penulis" sebenarnya dan sejauh mana kontribusi orisinalitas Anda. Isu plagiarisme dalam konteks AI bukan semata-mata tentang siapa yang memegang hak cipta, melainkan tentang integritas akademik dan profesional. Ketika seseorang menyerahkan tugas, artikel, atau laporan, ada ekspektasi bahwa karya tersebut adalah hasil dari pemikiran kritis, analisis, penelitian, dan ekspresi pribadi individu tersebut. Menggunakan AI untuk menghasilkan substansi utama teks tanpa pengakuan adalah bentuk ketidakjujuran intelektual.
Di lingkungan pendidikan, misalnya, tujuan utama tugas menulis adalah untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kemampuan riset, dan keahlian menulis siswa. Mengandalkan AI sepenuhnya untuk menghasilkan esai atau makalah akan menghambat proses pembelajaran ini secara fundamental. Mengklaim hasil AI sebagai karya sendiri berarti menghindari proses yang seharusnya dilalui untuk mengembangkan keterampilan esensial tersebut. Oleh karena itu, banyak institusi akademik, jurnal ilmiah, dan penerbit telah mulai mengeluarkan kebijakan tegas yang mengkategorikan penggunaan AI tanpa pengungkapan atau modifikasi substansial sebagai bentuk pelanggaran integritas (sering kali di bawah payung plagiarisme atau kecurangan). Mereka tidak melihatnya sebagai pelanggaran hak cipta, tetapi sebagai pelanggaran terhadap kepercayaan dan standar etika yang berlaku.
Mendeteksi apakah suatu tulisan sepenuhnya dihasilkan oleh AI atau disalin langsung adalah tantangan besar saat ini. Perangkat lunak pendeteksi AI, meskipun terus berkembang, masih memiliki keterbatasan. Mereka rentan terhadap false positives (mengidentifikasi tulisan manusia sebagai AI) dan false negatives (gagal mendeteksi tulisan AI). Selain itu, kemampuan AI untuk memparafrase dan menghasilkan teks yang "mirip manusia" membuat deteksi semakin sulit bagi perangkat lunak plagiarisme tradisional yang hanya mencari kesamaan kata per kata. Solusi paling efektif saat ini adalah pendekatan multi-lapis: penggunaan perangkat lunak pendeteksi AI (dengan pemahaman akan batasannya untuk indikasi awal), perangkat lunak plagiarisme tradisional (untuk mendeteksi salinan langsung dari sumber yang sudah ada), dan yang terpenting, analisis kritis oleh manusia. Penilai harus mencari inkonsistensi gaya, kurangnya kedalaman orisinal, "halusinasi" fakta, atau struktur kalimat yang terlalu sempurna dan generik yang menjadi ciri khas output AI. Kemampuan penulis untuk menjelaskan dan mempertahankan argumennya juga menjadi indikator penting.
Kehadiran AI mengharuskan kita untuk beradaptasi dan merefleksikan kembali nilai-nilai fundamental dalam penciptaan karya. AI seharusnya dipandang sebagai alat bantu yang kuat, bukan pengganti pemikiran dan kreativitas manusia. AI dapat membantu dalam brainstorming ide, merumuskan draf awal, memperbaiki tata bahasa, atau meringkas informasi kompleks. Namun, sentuhan akhir, analisis mendalam, perspektif pribadi, dan yang terpenting, integritas kepengarangan, harus tetap datang dari manusia. Debat mengenai AI dan plagiarisme masih jauh dari selesai. Mungkin kita perlu mendefinisikan ulang istilah-istilah atau menciptakan kategori baru untuk "kecurangan berbasis AI." Yang jelas, di tengah kemajuan teknologi, penting bagi kita untuk tetap menjunjung tinggi prinsip kejujuran, orisinalitas, dan akuntabilitas dalam setiap karya yang kita hasilkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI