Saya menghela napas sejenak setelah mengkalkulasi jarak tempuh. Lampu indikator bensin di spidometer motor terus berkedip. "Jarak ke SPBU Vivo 16 kilometer, bensin ini masih cukup," gumam saya. "Ada Shell di sepanjang jalan, tapi saya enggak yakin stoknya ada."
Saya menaikkan standar motor dan bersiap melanjutkan perjalanan. Sejak 2019, saya sudah memutuskan untuk beralih ke Shell, jauh sebelum ramainya kasus Pertamax oplosan yang terjadi setahun lalu.
Hampir empat bulan belakangan, saya mengamati peningkatan antrean yang signifikan di SPBU swasta. Sesekali, saat sedang mengisi bahan bakar, saya iseng bertanya ke petugas. "Kadang jadi bingung bagi waktu istirahatnya, Pak!" ungkap salah satunya. Jawaban itu sudah cukup mengindikasikan bahwa jumlah konsumen yang datang ke SPBU swasta memang meningkat.
Sebagai pelanggan setia SPBU swasta sejak 2019, saya sendiri merasakan perubahannya. Dulu, antrean bisa dibilang "isi, bayar, langsung jalan" (siyargo). Sekarang, saya harus antre, bahkan terkadang sampai ke pinggir jalan depan SPBU.
Kekecewaan yang Berakumulasi
Kekecewaan adalah alasan utama mengapa banyak orang beralih ke SPBU swasta. Ini adalah akumulasi dari berbagai kasus yang menimpa Pertamina. Mulai dari skandal PT Petral yang menyebabkan kerugian inefisiensi sekitar US$800 juta per tahun hingga 2015, kerugian Pertamina di tahun 2020-2023, kasus Pertamax oplosan, sampai skandal mafia migas yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp285 triliun. Banyak sekali kasus yang ingin saya sebutkan, tapi intinya, semuanya berujung pada satu hal: hilangnya kepercayaan.
Yang paling menyakitkan tentu saja kasus mafia migas dan Pertamax oplosan. Bayangkan, seorang pemilik mobil BMW seharga miliaran rupiah mengisi Pertamax, tapi ternyata bensin itu oplosan. Saya saja, yang hanya mengendarai motor PCX seharga 40 jutaan, merasa sakit hati. Tujuan saya membeli Pertamax adalah untuk menjaga mesin dan memperpanjang usia motor. Ternyata malah mendapat Pertamax oplosan yang justru merusak mesin dan membuat umur motor lebih pendek.
Bagi saya, uang 40 juta itu bukan jumlah yang sedikit. Butuh waktu dua tahun mencicil untuk melunasi motor tersebut.
Laporan dan tuntutan konsumen yang dicatat oleh LBH Jakarta dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) juga menunjukkan hal serupa. Berdasarkan data mereka, 86,43% konsumen mengaku rugi secara ekonomi karena membayar mahal untuk kualitas rendah. Selain itu, 55,25% mengalami kerusakan pada kendaraan, dengan sebagian besar (45,5%) harus mengeluarkan biaya perbaikan antara Rp1 juta hingga Rp5 juta. Total kerugian masyarakat akibat pengoplosan ini diperkirakan mencapai Rp47,6 miliar per hari.
Pindah ke SPBU Swasta adalah Jalan Terbaik
Inilah puncak kekesalan masyarakat. Mereka sudah menempuh jalur hukum dengan melapor dan menuntut melalui BPKN dan LBH. Namun, hingga tulisan ini dibuat, saya belum menemukan penyelesaian pasti mengenai tuntutan tersebut, terutama terkait ganti rugi.
Akibatnya, konsumen yang kecewa memutuskan untuk pindah ke SPBU swasta sebagai jalan terbaik. Apalagi, Pertamina tidak sedikit pun menunjukkan itikad baik untuk memperbaiki kesalahan dan merebut kembali hati konsumen. Misalnya, dengan memberikan jaminan pasti terkait kualitas dan kepastian ganti rugi jika konsumen mengalami kerusakan kendaraan akibat produknya.
Di mana para direktur utama Pertamina dengan gaji miliaran itu? Yang bahkan saat perusahaan rugi, mereka tetap mendapat bonus atau tantiem ratusan juta rupiah per tahun?
Pemerintah sebagai regulator justru terlihat lepas tangan. Mereka malah menerbitkan aturan baru terkait kuota impor minyak bagi SPBU swasta. Langkah ini dinilai oleh banyak pihak, termasuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sebagai upaya monopoli terhadap ketersediaan bahan bakar. Ini sama saja mengubah para pesaing menjadi "reseller" yang tidak bisa berbuat apa-apa karena terikat kebijakan. Parahnya, pemerintah berdalih langkah ini tidak termasuk monopoli. Sungguh ironis.
Jika kebijakan ini sudah dikeluarkan beberapa tahun lalu, mungkin tuduhan monopoli bisa diminimalisir. Masalahnya, kebijakan ini muncul berbarengan dengan eksodus konsumen dari Pertamina ke SPBU swasta. Kebijakan ini berpotensi membuat harga BBM di SPBU swasta lebih mahal karena mereka harus membeli dari Pertamina. Tidak hanya itu, kelangkaan pasokan pun sudah terjadi di hampir seluruh SPBU swasta di Jakarta, yang pada akhirnya sangat merugikan konsumen.
Pemerintah Memakan Buah Simalakama
Kondisi ini membuat pemerintah berada dalam posisi sulit, menghadapi dilema yang dibuatnya sendiri. Pertama, berkaitan dengan Pasal 33 UUD 1945, di mana negara seharusnya mengelola sumber daya untuk kemakmuran rakyat. Namun, yang terjadi kini adalah pemerintah menyusahkan rakyatnya sendiri. Mereka seolah tidak rela perusahaan swasta mendapat keuntungan lebih besar dibandingkan Pertamina akibat beralihnya konsumen.
Kedua, terkait Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU ini menjamin hak masyarakat atas keamanan, kenyamanan, dan ganti rugi jika produk tidak sesuai. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa hak-hak ini sulit dipenuhi.
Ketiga, terkait UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang seharusnya memastikan ketersediaan dan distribusi BBM bagi masyarakat. Tapi justru kebijakan baru malah menimbulkan kelangkaan di SPBU swasta, yang merugikan konsumen.
Sampai di sini, seharusnya pemerintah dan para direktur Pertamina bisa berkaca diri. Perbaiki kesalahan dan rayu kembali konsumen yang merajuk ini dengan cara yang bijak, bukan malah mendebat dan mengambil langkah spekulatif yang hanya memperburuk citra mereka sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI