Mohon tunggu...
Ridhony Hutasoit
Ridhony Hutasoit Mohon Tunggu... Auditor - Abdi Negara

Aku ini bukan siapa-siapa, hanya terus berjuang meninggalkan jejak-jejak mulia dalam sejarah peradaban manusia, sebelum kelak diminta pertanggungjawaban dalam kekekalan.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Ceruk Inklusi Keuangan Indonesia

20 Agustus 2019   09:49 Diperbarui: 20 Agustus 2019   10:16 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Setyawan, AAI

Pada aspek lain, peranan Ibu tadi sangat signifikan dalam keluarga. Baik dalam hal pembinaan anak-anak, mulai dari hal pemenuhan kebutuhan/ekonomi, jodoh, hingga keputusan terkait pendidikan apalagi ketika Sang Suami telah tiada. Hal ini memandakan peran perempuan sangat signifikan dalam kemajuan suatu keluarga. 

Hal ini diperkuat dari survei sederhana kepada 12 responden di mana 83,33% responden menyatakan bahwa Ibu memiliki peran penting dalam kemajuan keluarga. Kedekatan secara emosi dan dominasi keputusan dalam hal keuangan sangat tampak dalam penjelasan mayoritas responden tadi sebagai penyebab peran penting seorang ibu. 

Dalam pengamatan selama wawancara dan observasi, kapasitas/tingkat literasi seorang Ibu memiliki pengaruh terhadap perilaku keuangan termasuk pengambilan keputusan terkait keuangan keluarga.

Berdasarkan data SNLIK (2016), dari tahun ke tahun, Indeks Literasi Keuangan (ILK) mengalami peningkatan namun belum signifikan jikalau dibandingkan dengan pencapaian IIK. Pada tahun 2013, ILK mencapai 21,8% menjadi 29,66% pada tahun 2016. Hal ini menimbukan kondisi unbalancing antara kedua indeks yang dapat memengeruhi rentang dampak dari sektor jasa keuangan. 

Misalnya, per tahun 2016 tadi, gap antara tingkat inklusi dengan literasi sebesar 38,16%. Artinya, sebanyak 38,16% penduduk Indonesia dewasa yang telah terakses dengan produk dan/atau industri jasa keuangan  berada pada pemahaman yang minim atas produk/jasa industri jasa keuangan yang digunakan. 

Hal ini diperkuat data SNLIK (2016) yang menyatakan bahwa hanya 36,02% masyarakat menyatakan memiliki kemampauan menghitung bunga, angsuran, hasil invenstasi, biaya penggunaan produk, denda, dan inflasi. Pada sisi sikap keuangan, 66.79% masyarakat hanya memiliki tujuan keuangan jangka pendek yaitu untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan bertahan hidup.

Kondisi di atas membawa pada satu hipotesis bahwa kualitas inkluasi keuangan tidak bisa lepas dari sejauh mana masyarakat dapat paham produk/layanan jasa keuangan hingga mampu menggunakannya dalam rangka memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan diri. 

Ceruk inklusi keuangan tidak hanya membawa pemahaman pembuat kebijakan bukan hanya merancang solusi percepatan literasi tetapi juga kualitas konten literasi. 

Kualitas konten literasi yang membawa masyarakat bukan hanya paham produk dan layanan sektor jasa keuangan, namun mampu menggunakan produk dan layanan jasa keuangan tadi untuk meningkatkan kesejahteraan diri dalam jangka panjang. 

Elaborasi ceruk inklusi keuangan ini makin tampak ketika perempuan belum optimal untuk menjadi prioritas. Di sisi lain, Indonesia memiliki tantangan terkait kondisi geografis.

Pada aspek regulasi, sejatinya pemerintah dan OJK telah mengeluarkan regulasi dalam mendorong pencapaian IIK dan ILK, seperti dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif, Perpres Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/SEOJK.07/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan, hingga Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/SEOJK.07/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan dalam Rangka Meningkatkan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan. Namun tantangannya, implementasi peraturan tersebut belum disinkronkan dalam kebijakan pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari belumnya IIK dan ILK masuk dalam perencanaan strategis, seperti RPJMD, Renstra, atau Renja. Maka muncul hipotesis kedua bahwa inklusi keuangan belum optimal dikarenakan belum harmonisnya kebijakan pusat dan daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun