Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Nadiem Anwar Makarim terkait pengadaan Chromebook menjadi sorotan besar karena menyangkut isu penting dalam ekonomi publik, yakni penyediaan barang publik. Barang publik, menurut teori ekonomi, adalah barang atau layanan yang bersifat non-rivality dan non-excludable, artinya semua orang dapat menikmatinya tanpa mengurangi kesempatan orang lain, serta tidak dapat mengecualikan pihak tertentu dari penggunaannya. Pendidikan merupakan salah satu bentuk barang publik karena manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh individu yang bersekolah, tetapi juga berdampak pada masyarakat luas melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itu, negara berkewajiban memastikan pendidikan dapat diakses dengan baik melalui kebijakan seperti digitalisasi sekolah. Namun, ketika proyek ini justru dikorupsi, manfaat barang publik menjadi terhambat dan menimbulkan kerugian tidak hanya secara finansial, tetapi juga sosial.
Program pengadaan Chromebook pada awalnya merupakan kebijakan yang tepat, mengingat pandemi COVID-19 memaksa pendidikan untuk beralih ke sistem daring. Akses perangkat digital menjadi sangat penting agar siswa tidak tertinggal dalam proses belajar. Berdasarkan data Kemendikbud, proyek ini mencakup distribusi lebih dari 1,1 juta Chromebook ke sekitar 77 ribu sekolah dengan anggaran mencapai Rp9,9 triliun, menjadikan ini salah satu proyek digitalisasi pendidikan terbesar dalam sejarah Indonesia. Pojok Jakarta Dalam konteks barang publik, investasi besar pemerintah dalam pendidikan digital seharusnya meningkatkan kesejahteraan kolektif karena seluruh masyarakat akan menikmati hasil dari meningkatnya kualitas pendidikan. Namun, jika proses pengadaan tidak dikelola dengan transparan, maka tujuan tersebut gagal tercapai. Korupsi yang merugikan negara hingga Rp1,9 triliun berarti terdapat dana publik yang seharusnya digunakan untuk memperkuat barang publik, tetapi justru hilang di tengah jalan. Pojok Jakarta Ini bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan juga pengkhianatan terhadap hak masyarakat atas pendidikan.
Barang publik, termasuk pendidikan, memiliki sifat free rider problem, yaitu ada potensi pihak-pihak tertentu menikmati manfaat tanpa ikut menanggung biaya. Oleh karena itu, peran negara sangat penting dalam menjamin distribusinya secara adil. Namun, ketika negara sendiri gagal dalam menjaga integritas pengadaan, masalah yang muncul menjadi lebih kompleks. Kasus distribusi Chromebook yang tidak merata, bahkan sampai masuk ke sekolah-sekolah tanpa jaringan internet, mencerminkan lemahnya perencanaan. Alih-alih memperbaiki kualitas barang publik, proyek ini justru menambah kesenjangan. Sekolah yang benar-benar membutuhkan perangkat digital tidak mendapatkan manfaat, sementara sekolah yang tidak siap justru menerima perangkat yang tidak bisa digunakan. Dalam hal ini, negara gagal dalam menjalankan fungsi alokatifnya, yaitu menyediakan barang publik dengan tepat sasaran. Pojok Jakarta
Dampak lain dari kasus ini adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam menyediakan barang publik. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang, dan masyarakat harus yakin bahwa setiap rupiah dari APBN digunakan untuk mendukung tujuan mulia tersebut. Penetapan tersangka terhadap Nadiem, sosok yang sebelumnya dipandang sebagai reformis, menimbulkan kekecewaan mendalam. Korupsi dalam barang publik tidak sekadar merugikan keuangan negara, melainkan juga mencederai harapan masyarakat terhadap masa depan generasi muda. Kepercayaan ini penting karena tanpa legitimasi dari publik, setiap program pemerintah akan selalu dipandang sinis. Hal ini menciptakan lingkaran setan: korupsi merusak kepercayaan, kepercayaan yang rusak mengurangi partisipasi publik, dan rendahnya partisipasi publik semakin memudahkan praktik korupsi. Pojok Jakarta
Kasus Chromebook juga mengingatkan kita bahwa penyediaan barang publik tidak boleh hanya berorientasi pada output fisik, seperti jumlah perangkat yang dibeli dan didistribusikan. Lebih penting lagi adalah outcome, yakni sejauh mana perangkat tersebut benar-benar meningkatkan kualitas pendidikan. Klaim Nadiem bahwa 97% dari 1,1 juta perangkat telah berhasil didistribusikan ke lebih dari 77 ribu sekolah menjadi tidak relevan jika banyak sekolah tidak bisa memanfaatkannya secara efektif. Pojok Jakarta Barang publik baru bisa disebut berhasil jika manfaatnya dirasakan secara luas, bukan hanya sekadar terlihat dari angka-angka distribusi. Hal ini menegaskan bahwa dalam penyediaan barang publik, transparansi, akuntabilitas, dan evaluasi berbasis kebutuhan masyarakat harus menjadi prinsip utama. Tanpa itu, proyek besar dengan anggaran fantastis hanya akan menjadi ladang korupsi.
Dari perspektif hukum dan politik, kasus ini menjadi ujian serius bagi lembaga penegak hukum dalam menegakkan prinsip keadilan pada penyediaan barang publik. Jika hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, maka kasus Nadiem bisa menjadi preseden penting bahwa tidak ada seorang pun kebal hukum, sekalipun ia memiliki reputasi besar. Di sisi lain, secara politik, kasus ini dapat menjadi senjata bagi kelompok oposisi untuk menyerang pemerintah, terutama menjelang tahun politik. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana negara memperbaiki tata kelola pengadaan barang publik agar kasus serupa tidak terulang. Reformasi birokrasi harus dilakukan, termasuk perbaikan sistem tender, pengawasan yang lebih ketat, serta pemberdayaan masyarakat sipil untuk mengawasi jalannya proyek. Referensi dari Kejaksaan Agung menyebutkan bahwa selain Nadiem, telah ditetapkan empat bawahannya---Jurist Tan, Sri Wahyuningsih, Mulyatsyah, dan Ibrahim Arief---yang dituduh peran mereka dalam memuluskan proses pengadaan yang tidak sesuai prosedur. Pojok Jakarta
Pada akhirnya, kasus dugaan korupsi Chromebook harus dipandang sebagai pelajaran penting bahwa penyediaan barang publik tidak sekadar soal alokasi anggaran, melainkan soal integritas, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada rakyat. Pendidikan sebagai barang publik tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan demi keuntungan segelintir pihak. Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan setiap rupiah dari APBN benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk mereformasi tata kelola barang publik secara menyeluruh. Jika tidak, maka pendidikan akan terus terjebak dalam lingkaran korupsi, dan generasi mendatang akan menjadi korban dari kegagalan kita menjaga amanah. The reference article "Terbongkar! Nadiem Makarim Terseret Kasus Korupsi Chromebook Rp1,9 Triliun, Bagaimana Kronologinya?" yang dimuat di Pojok Jakarta (5 September 2025) memberikan kronologi, data anggaran, jumlah perangkat, kritik publik terhadap distribusi dan transparansi, serta bantahan dari Nadiem yang menyebut sebagian besar Chromebook sudah didistribusikan.Â
Referensi : https://pojokjakarta.com/2025/09/05/kasus-korupsi-chromebook-nadiem-makarim-tersangka/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI