Perjalanan pramusim klub sepak bola seringkali menjadi ajang unjuk gigi bagi para pemain muda, kesempatan emas untuk menarik perhatian manajer dan memukau penggemar.Â
Namun, bagi Amad Diallo, gelandang muda Manchester United, tur Asia 2025 di Malaysia justru menyisakan sebuah insiden kontroversial yang menjadi sorotan utama.Â
Sebuah jari tengah yang diacungkan ke arah kerumunan penggemar usai kekalahan 0-1 dari ASEAN All Stars pada Rabu (28/5) lalu, memicu badai pertanyaan dan perdebatan.
Meski tindakan tersebut jelas kurang pantas, respons Diallo kemudian di media sosial justru lebih mengejutkan.Â
Ia dengan tegas menyatakan tidak menyesali perbuatannya. Bukan karena ingin menunjukkan arogansi, melainkan sebuah pembelaan diri yang tulus:Â
"Saya menghormati orang lain, tetapi tidak dengan orang yang menghina ibu saya. Saya seharusnya tidak bereaksi seperti itu, tetapi saya tidak menyesali apa yang telah saya lakukan. Kami bersenang-senang di Malaysia bersama orang-orang baik."
Pernyataan ini sontak mengubah narasi dari sekadar tindakan indispliner menjadi sebuah renungan tentang batas-batas kehormatan pribadi di era digital.Â
Dalam dunia di mana setiap gerak-gerik publik figur selalu diawasi dan dihakimi, privasi dan martabat seringkali tergerus oleh lautan komentar, baik yang konstruktif maupun yang merendahkan.Â
Diallo tidak merinci bagaimana ibunya dihina, namun spekulasi kuat mengarah pada komentar-komentar negatif di media sosial. Ini bukan lagi sekadar ejekan biasa di pinggir lapangan; ini adalah serangan terhadap sosok paling suci dalam hidup seorang individu.
Meskipun secara etika seorang atlet profesional diharapkan selalu menjaga sikap, respons emosional Diallo, terlepas dari konsekuensinya, bisa dipahami.Â