Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Lebih Takut Denda daripada Mati

6 November 2021   05:25 Diperbarui: 6 November 2021   05:27 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dua kali saya kena denda karena melebihi kecepatan. Masing-masing sekitar Rp 3.7 juta. Lumayan besar untuk ukuran Indonesia. Tetapi saya bukan didenda di Indonesia. Saya didenda di Qatar, negara petro dollar yang jalan rayanya bagus-bagus. Apalagi jalan tol nya. Selain lebar, gratis serta nyaman. Orang Qatar, Saudi, Kuwait heran ketika datang di Indonesia lewat jalan tol harus bayar berdasarkan jarak. Karena di negeri mereka gratis."

"Meski di Saudi, Kuwait dan Qatar gratis tol, di Dubai, beberapa jalur tol harus bayar, mirip di Indonesia. Tujuannya mengurangi kemacetan dan memberikan rasa nyaman pengguna jalan. Kenyamanan ini yang harus dibayar yang luamayan besar untuk kocek kita. Apa dengan begitu kecelakaan tidak terjadi di Dubai? Siapa bilang?"

"Sewaktu di Dubai dulu, justru kecelakaan yang paling sering terjadi di jalan tol. Orang-orang sana, khususnya anak-anak muda, tidak begitu peduli dengan aturan kecepatan. Padahal aturannya sangat ketat. Di pos-pos tertentu ada tulisan 'Radar'. Banyak juga Radar yang tersembunyi. Pelanggarnya didenda berat. Mungkin karena duit tidak jadi masalah, makanya kalau ngebut sudah tidak peduli berapa besarnya denda."

"Tidak heran, jumlah kecelakaan di Dubai waktu itu tetap tinggi, bahkan relatif lebih tinggi dari pada yang ada di Indonesia. Radar ternyata tidak memberikan efek jerah terhadap pengemudi di jalan tol."

Demikian cuplikan kisah seorang rekan yang pernah tinggal cukup lama di Timur Tengah, tentang jalan tol di sana.  

Pekan ini ada dua kecelakaan yang beritanya viral. Pertama yang menimpa Venessa Angel dan keluarganya. Kecelakaannya terjadi di Jalan Tol Nganjuk Jawa Timur. Yang kedua, kecelakaan yang sama, yang menimpa tiga orang Guru Besar UGM, masing-masing Prof. Dr. Sri Kadarsih Soejono, Prof. Ir. I Gede Suparta Budisatria dan Prof.dr.HM.Sulchan Sofoewan, Sp.OG (K). Kecelakaannya terjadi di Jalan Tol Cipali-Cikampek, pukul 02.00 Kamis, 4 November 2021.

Kedua kecelakaan ini tentu saja sangat kita sesalkan. Kita turut berduka yang mendalam kepada keluarga Venessa serta ketiga Guru Besar UGM sebagai asset besar Bangsadi perguruan tinggi besar UGM. Kita telah kehilangan orang-orang terbaik di negeri ini.

Terlepas dari suratan takdir yang menimpa mereka hingga menemui ajalnya, kita yang masih diberikan kesempatan hidup lebih panjang, wajib mengambil ibrah dari kejadian tersebut. Yakni bagaimana supaya bisa terhindar dari kecelakaan ketika berkendara di jalan tol.

Menurut berbagai hasil penelitian terkait kecelakaan, baik kecelakaan kerja maupun kecelakaan lalu lintas, 90% penyebabnya adalah karena kesalahan manusia (human error). Bukan mesin, bukan aturan atau pula tanda-tanda lalu lintasnya. Juga bukan karena jalannya. Dengan demikian sangat jelas, berarti faktor manusianya yang pegang peranan.

Padahal, system pembangunan jalan tol sudah menggunakan rekomendasi pembanguan jalan mutakhir agar bisa semaksimal mungkin menekan angka kecelakaan di jalan tol. Kenyataannya kecelakaan tetap terjadi, bahkan mematikan. Tragis sekali. Ini sekaligus merupakan bukti bahwa jalan semacet apapun, ternyata jauh lebih aman daripada yang lengang seperti tol yang tidak ubahnya seperti gerbang maut.

Anyway...

Ada hal menarik terkait karakter atau watak orang Indonesia dan orang-orang Arab di Timur Tengah terkait ini. Di satu sisi, kita memiliki karakter yang sama, yakni sepertinya pengemudi yang suka ngebut ini memang 'tidak takut' dengan yang namanya 'kematian'. Di Arab atau Indonesia sama saja. Bedanya, orang Arab tidak takut 'mati' apalagi sekedar denda.  Kita, juga tidak takut ancaman kematian

Buktinya, lihat saja rokok. Dulu, di iklan-iklan rokok hanya tertulis 'Rokok membahayakan kesehatan'. Ternyata rokok masih laku keras. Kemudian Pemerintah mengubah dengan kalimat 'Rokok mematikan'. Nyatanya jumlah perokok tidak malah berkurang. Ini bukti bahwa kata 'mematikan' tidak menjadikan kita takut, apalagi jerah.  Coba misalnya merokok didenda, pasti berkurang jumlah perokok di sembarang tempat.

Itulah anehnya. Orang kita memang lebih takut denda.

Awal tahun ini, saat saya ke Kantor Pajak di Malang, pada bulan Maret, tepatnya minggu-minggu terakhir batas pelaporan pajak, begitu ramai dan padatnya para pelapor pajak. Dugaan saya, sekali lagi masih dugaan saja karena belum saya teliti. Orang-orang ramai lapor pajak ini karena takut didenda apabila terlambat. Demikian juga antrian panjang pembayaran pajak kendaraan. Umumnya kita menunggu sampai hari terakhir, lantaran takut kena denda.

Intinya, orang kita sebenarnya lebih takut denda dari pada mati.

Usulan saya adalah, kenapa tidak kita pasang Radar dengan system digital denda yang langsung masuk SMS pengemudi 5-10 menit sesudah melanggar kecepatan. Jumlah dendanya bergantung kepada kecepatannya. Misalnya jika batas kecepatan 100 km/jam kemudian kecepatan pengemudi 120 km/jam, dikenakan denda Rp 500 ribu. Jika 140 km/jam dikenakan Rp 1 juta. Pengemudi otomatis tidak bisa keluar tol sebelum membayar di gerbang keluar.

Sepertinya konyol ide ini dan tidak praktis. Terkesan ribet. Tetapi ini masih jauh lebih sederhana dari pada ribetnya ngurusi kecelakaan dan mayat korban kecelakaan.

Makassar, 6 November 2021

Ridha Afzal       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun