Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ulang Tahun Dr Terawan dan Sisa-sisa Praktik Feodal di Sektor Kesehatan

6 Agustus 2020   21:17 Diperbarui: 6 Agustus 2020   21:17 1800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, tanggal 6 Agustus, Bapak Menteri Kesehatan Dr. Terawan, merayakan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT). Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mewakili seluruh perawat Indonesia meyampaikan ucapan selamat dalam Websitenya. "Selamat Ulang Tahun Menteri Kesehatan. Letjen TI (Purn) Dr.dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K) RI. 

Sebuah ekspresi penghormatan atas warga profesi terhadap pimpinannya. Sebuah tradisi yang perlu dipertahankan. Sama seperti anak terhadap orangtuanya.

Pada saat yang sama, saya membaca berita bahwa Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI), menduduki peringkat pertama dalam praktik demokrasi di Indonesia (Liputan 6), dengan capaian level 88.29 pada tahun 2019. Sebagai peraih rekor tertinggi. 

Salah satu aspek terpenting yang dinilai, sebagaimana yang disampaikan oleh Gubernur DKI, Anies Baswedan, adalah dalam perbaikan transpransi anggaran, kebebasan berkeyakinan, kinerja Pemerintah, masyarakat sipil, lembaga legislasi, partai politik, penegakan hokum dan pengadilan.

Lantas apa hubungan HUT Pak Menkes dengan praktik feudal di lingkungan kesehatan?    

Tuan Tanah dan Jongos

Pak Menkes ini berada di Jakarta. Meski sering ke daerah, tapi Pak Menkes kan tidak melihat langsung ke bawah, bagaimana staff level bawah, di lingkungan kementrian kesehatan dan jajarannya ini bergaul dan bekerja.

Sebagian dari Anda pasti pernah masuk rumah sakit (RS). Di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya da Malang, memang beda. Tingkat kesadaran profesi dan kesetaraan tidak sama dengan yang ada di daerah. Tetapi di Aceh, pemandangan hubugan antara dokter dan perawat misalnya, kadang terlihat seolah perawat 'menghamba'. Tidak ubahnya seperti Tuan Tanah dan Jongos pada zaman Belanda.

Ada perawat yang mbikinin Teh atau Kopi untuk dokter. Ada yang mengambilkan pulpen atau jas putih. Kalau tugas perawat seperti ini, untuk apa kuliah tinggi?  Memang tidak semua dokter suka dengan perlakuan perawat seperti ini. Kadang si perawat sendiri yang 'munduk-munduk' pada atasannya, yang dalam hal ini dokter.

Kalau ada dokter spesialis datang atau visit ke bangsal disambut berlebihan. Mereka bungkuk-bungkuk seakan memberi penghormatan yang berlebihan. Padahal sang dokter bisa jadi tidak menghendaki. Di sisi lain, sikap perawat senior ini kepada adik-adik mahasiswa kurang elok dan terkesan diskriminatif.

Menurut bang Dede, rekan saya di Cianjur, praktik seperti yang saya sebut di atas juga masih berlangsung Perawat mengambilkan stethoscope, pulpen dan jas dokter yang mestinya tidak perlu.  

Monopoli

Pak Menteri pasti tahu, sampai dengan era 80-an dunia kedokteran sangat mendominasi praktik kesehatan. Semua kepala lembaga/instansi dari tingkat Puskesmas hingga Menteri, dijabat oleh dokter. Seolah dokter tahu segalanya. Kepala laboratorium, radiologi, gizi, keperawatan, kesehatan lingkungan, kepegawaian, pelayanan medis, bahkan kepala sekolah perawat, Akper, fakultas keperawatan. Dominasi kedokteran sangat kuat.

Sejak tahun 2000-an mulai berubah. Di Papua misalnya menurut Dr. Isak Tukayo, ketua PPNI DPW Papua, sudah mulai banyak perawat yang menjabat sebagai Kepala Puskesmas, Kadinkes serta Direktur Poltekkes atau kampus keperawatan lain.

Fenomena ini bisa dimaklumi karena 40 tahun lalu tingkat pendidikan keperawatan, kesehatan lingkungan, laboratorium, fisioterapi dan profesi kesehatan lain masih rendah, setingkat diploma paling tinggi. Ketika jenjang pendidikan mereka ke pasca sarjana, otomatis pangkat dan golongan mereka berubah.

Dari situlah kemudian profesi lain ini menampakkan keberanian mendobrak tradisi colonial yang bernama dominasi ini. Mereka berpacu, berkompetisi dengan profesi kedokteran untuk meraih jenjang kepangkatan dan jabatan yang selama ini didominasi oleh dokter.

Kini, era sudah berubah. Sudah mulai terlihat tanda-tandanya terjadinya pergeseran golongan dan jabatan ini. Barangkali yang belum tersentuh adalah posisi kepala RS masih rata-rata dijabat oleh dokter. Juga Menteri Kesehatan.  

Sumber: klikdokter.com
Sumber: klikdokter.com
Serakah

Serakah adalah sifat kolonial. Praktik kedokteran di banyak tempat (RS dan klinik) misalnya itu adalah bagian dari keserakahan profesi. Memang sudah ada aturan bahwa dokter tidak boleh praktik lebih dari 3 tempat praktik (UU No. 29 Th 2004 tentang Praktik Kedokteran).
Hemat saya ini berlebihan. Seolah-olah Indonesia kurang dokter. 

Di Timur Tengah, dokter disuruh milih, jadi dokter pemerintah atau swasta. Hanya satu tempat praktik agar fokus dan berkualitas. Di kita, bagaimana mungki satu orang membagi kerja di 3 tempat dalam 24 jam? Inilah salah satu yang menyebabkan kualitas pelayanan kedokteran menurun.

Inilah salah satu penyebab mengapa dokter-dokter muda tidak kebagian tempat praktik. Karena diborong oleh para senior yang mendominasi praktik di beberapa tempat.  

Kini bukan zaman kolonial. Kalau mau kaya, kata teman-teman, jangan ambil profesi kesehatan. Jadi pengusaha saja. Kalau mau kaya, jangan jadi dokter. Bukan zamannya lagi.

Bayar Ini Itu Padahal Fasilitas Lengkap

Di kampus keperawatan, mungkin pula di jurusan kesehatan lain, meskipun korupsi tidak seperti dulu, namun praktiknya masih jalan hingga kini. Misalnya, dalam bentuk bayar. Bayar gedung, padahal gedung sudah berdiri megah. Alasannya ada saja, untuk pemeliharaan, beli alat-alat, beli tanah baru, meningkatkan gedung yang ada dan lain sebagainya. Ini gaya colonial, mirip pajak zaman dulu.

Belum lagi bayar ujian semester, bayar uang daftar ulang, bayar wisuda, bayar saat ambil ijazah, bayar fotocopy ijazah dan legalisir. Pokoknya mahasiswa harus bayar sampai capek merinci. Kenapa tidak disederhanakan?

Di era digital, sebenarnya semua bisa disederhanakan termasuk kuliah tidak gunakan gedung, tidak tatap muka. Mestiya lebih murah. Lha ini tidak. Malah mahal. Kembali lagi, alasan yayasan umumnya ada saja. Ibaratnya, kalau tidak narik duit, tidak lengkap kuliahnya. Bukankah ini colonial pak Menteri?

Upeti

Masih ada lagi yang lebih parah dari itu semua.  Dosen minta hadiah sesudah skripsi. Hadiahnya milih. Lucu kan? Bukankah ini colonial di era modern? Dulu zaman Pangeran Diponegoro disebut Upeti, sekarang bernama 'Ucapan Terima kasih'.

Kita tahu, tidak semua mahasiswa dari kalangan mampu. Teman saya ada yang drop out semester tiga, karena tidak sanggup bayar. Ibunya single parent, jualan Nasi Pecel. Siapa peduli saat dia tidak mampu kuliah lagi? Tidak ada.

Ada yang kuliah sambil jualan pulsa. Ngenes. Dosen tidak mau tahu meskipun banyak dosen yang baik. Dosen seperti ini mestinya tidak jadi dosen. Jadi pengusaha saja. Tradisi minta hadiah saat skripsi ini sudah membudaya di banyak kampus, hingga kini.
Apa Pak Menteri tahu?  

Inilah kondisi yang ada di lingkungan kesehatan. Feodalisme masih ada. Dari tempat kuliah hingga di pelayanan. Mungkin pula di tingkat atas, lebih tinggi, lebih canggih. Sampai menjelang pensiun. Jika tanpa pelumasnya, jangan harap turun tuh yang namanya Uang Pensiun atau Taspen nya.

Anyway, Selamat Uang Tahun Pak Menteri. Semoga sehat, panjang umur, banyak rejeki dan tetap bisa menjaga amanah, di negeri ini.

Malang, 6 August 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun