Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keteladanan Idul Adha: Adil, Syukur, dan Hidup Sehat

30 Juli 2020   21:37 Diperbarui: 30 Juli 2020   21:32 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Republik.com

Di sebuah kolam renang alam kemarin, saya bertemu dengan orang tua. Beliau memperkenalkan diri, Pak Adi namanya. Kelahiran tahun 1956. Berarti umurnya 64 tahun. Badanya kurus, kecil, pendek, tapi sehat. Kelihatan masih kuat dan 'lincah'.

Kami ngobrol cukup lama. Pak Adi berkisah tentang ayahnya, seorang Tentara asal Yogya, kemudian pindah ke Malang pada zaman Belanda saat serangan kedua kalinya ke Indonesia. Ibunya asal Magelang. Mereka membeli sebidang tanah waktu itu, tahun 1950-an. Didirikan rumah di desa Sentul, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan.

Mendengar cerita beliau, saya turut membayangkan, betapa susah kehidupan orang-orang zaman penjajahan dulu. Bahkan hingga tahun 1966-an beliau bilang masih susah hidupnya. Tentara zaman dulu katanya lusuh, kumuh, 'bau'. Sekarang sangat enak katanya. Tentara sekarang cakep, sehat, terjamin, dan sejahtera.

Menjelang hari mulia bagi Umat Islam Idhul Adha ini, sebagai bagian dari refleksi diri, ada tiga pelajaran berharga yang saya dapat dari Pak Adi yang sudah setengah abad lebih usianya. Pertama tentang nilai keadilan, kedua tentang manfaat bersyukur, yang ketiga hidup sehat.

Adil

Pak Adi tidak mengeluh meskipun berkisah tentang perbedaan zaman duu dan sekarang. Menurut beliau, perlakuan keadilan itu sama, hanya menyesuaikan zaman. Adil, itu kata beliau bukan berarti sama rata. Bukan pula berarti berdiri sama tinggi, duduk sama rendah,  seperti yang kita lihat dalam konsep komunisme. Adil adalah mendudukkan suatu perkara, masalah atau hak,secara proporsional.

Memberi uang saku sebesar Rp 50 ribu pada masing-masing 5 orang anak dalam suatu keluarga, terlihat adil. Padaha bukan. Karena tidak bijak. Anak remaja umur 17 yang duduk di SMA, tidak sama kebutuhannya dengan anak TK umur 5 tahun. Anak umur 5 tahun tahu apa dengan uang Rp 50.000?

Makanya, ketika kekayaan kita tidak sama dengan tetangga, tidak usah iri, tidak perlu benci. Karena kita tidak tahu bagaimana perjuangan tetangga untuk meraih kekayaannya. Bisa jadi sangat berat berdarah-darah yang kita tidak tahu. Kini kita melihat seolah-olah dengan sekian harta yang dimiliki tetangga, asumsi kita tengga jauh lebih bahagia dan lebih kaya dari kita.

Tetangga, boleh jadi memiliki prasangka yang sama. Mereka melihat kita sebagai orang yang lebih bahagia dari mereka sendiri. Tetangga tidak tahu bahwa kita juga sama seperti mereka. 

Boleh jadi mereka memiliki keluhan kesehatan yang tidak diceritakan. Kita juga demikian, punya keluhan fisik yang tidak perlu dibagikan pada mereka. Kita hanya sharing cerita yang menyenangkan saja. Kita bagikan hal-hal yang membuat mereka lebih bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun