Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kuliah Virtual, Harga Tetap Mahal

20 Juli 2020   20:52 Diperbarui: 20 Juli 2020   20:47 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sebuah lingkaran 'pepatah' mengatakan: mahasiswa takut dosen, dosen takut dekan, dekan takut rektor, rektor takut Dikti, Dikti takut Menristek, Menristek takut Presiden dan Presiden, ternyata, takut sama mahasiswa.

Panjang banget pepatahnya?

Pengalaman seorang senior yang pernah belajar Online di sebuah kampus di Australia, beda dengan di sini. Sepertinya enak banget kuliah di luar negeri. Memang mahal, tetapi bayarnya praktis, gak macam-macam. Hanya bayar per mata kuliah. Memang mahal sekali untuk ukuran Indonesia.

Bayangkan, satu mata kuliah nyampai Australia $ 900 atau sekitar Rp 9.27 juta. Jumlah mata kuliah sedikit. Untuk program S2 hanya 8 buah. Boleh diambil selama 1.5 tahun, maksimal 4 tahun. Berarti harus bayar total Rp 74.16 juta selama kuliah. Biaya tersebut sama saja, mau kuliah offline atau online tidak ada bedanya. Mau belajar on campus atau off campus sama saja.

Dia tidak bayar gedung. Apalagi seragam, gak ada lah. Gratis buku materi utama kuliah. Tidak ada biaya ujian semester. Tidak ada biaya ujian akhir. Gratis wisuda kecuali bayar sewa pakaian wisuda. Selama kuliah, tidak pernah mikirin bayar ini-itu. Hanya bayar uang kuliah sesuai jumlah mata kuliah yang diambil. Jika ambil dua mata kuliah, dikalikan $ 900. Itu saja.  

Negeri ini Selalu Punya Jawaban


Mengapa kita tidak belajar dari system seperti Australia? Orang kita sebenarnya banyak yang jebolan kampus Australia. Orang kita juga banyak yang studi banding di sana. Apalagi yang sekedar rekreasi. Tapi ya itu..., ke Australia hanya untuk tujuan tersebut. Kalau mau terapkan apa yang mereka pelajari dan dilakukan oleh Australia untuk diterapkan di Indonesia, katanya, berat banget. Lho? Bener!

Katanya, orang kita sulit diatur. Katanya, orang kita susah diajak kerjasama. Orang kita tidak disiplin. Dan orang kita tidak sekaya orang Australia. Lho?

Saya kuliah di kampus swasta. Kami ngerti, karena swasta, namanya juga swasta, semua harus dari diri sendiri. Mulai dari rencana, pelaksanaan hingga evaluasi. Cari duit sendiri, bangun gedung sendiri, pemeliharaan juga dari duit sendiri. Kalau ada kerusakan ditanggung sendiri. Ini berlaku juga untuk pengembangan kampus. 

Makanya jangan tanya. Kalau sekolah di swasta harus bayar lebih mahal dari kampus negeri, karena swasta tidak dapat subsidi dari Pemerintah.

Tapi sampai kapan? Masak setiap tahun harus bayar gedung, padahal gedung sudah berdiri? Jawabannya, kan perlu dikembangkan? Harus beli tanah baru, kalau perlu ditingkatkan, dipelihara, dipercantik serta ditambah fasilitasnya. Harus ada AC. Kalau perlu ada hotel dan fasilitas olahraga.

Makanya, Pemerintah angkat tangan jika sudah menyangkut biaya kuliah dan operasional sekolah atau kampus swasta.  

Bayarnya Macam-macam

Keponakan saya, umur 7 tahun, pekan lalu mulai masuk Sekolah Dasar (SD) di sebuah SD swasta. Bukan hanya Uang Gedung yang harus dibayar oleh orangtuanya. Daftar biaya sekolah kelas satu SD bisa selembar kertas HVS ukuran A4. Uang seragam dua macam @ dua potong, uang sepatu, baju olahraga, uang buku, uang sumbangan wajib, sumbangan sukarela, uang sekolah, uang ujian dan uang rekreasi.

Salahnya, kita para orangtua biasanya minta rincian. Nah, begitu dikasih rincian, ngeluh. Jadilah panjang rinciannya. Kalau ditulis langsung, memang mahal kelihatannya. Tapi kalau dirinci, kelihatan kecil-kecil jumlahnya, tapi totalnya Na'udzubillah.....

Itu belum termasuk nanti, uang ujian semester, daftar ulang, iuran tak terduga hingga uang wisuda. Pokoknya, kalau merasa miskin, lebih baik masuk Pondok Pesantren yang gratis aja deh!

Sebetulnya yang Mengatur Siapa

Sebetulnya, urusan sekolah beserta tetek-bengek bayarnya itu urusan siapa? Soalnya, negara tidak bisa 'turut campur' sih. Memang, kita punya orang-orang yang mampu bayar sekolah anaknya, dari SD hingga perguruan tinggi. Tapi jangan lupa, bahwa orang yang kelas menengah ke bawah di Indonesia itu banyak banget.

Menurut World Bank, kelompok paling besar di Indonesia adalah kelas menengah (44.5%) pada tahun 2016. Kelas ini rentan dengan kenaikan harga termasuk harga sekolah. Kelas menengah ini level penghasilannya antara US$ 2-US$ 20 per kapita per hari atau sekitar Rp 28 ribu-Rp 280 ribu per hari. Untuk kelas bawah, pasti berat menyekolahkan anaknya kayak keponakan saya di atas. Biaya itu belum termasuk transportasi dan uang sakunya.

Sekolah, walaupun wajib dari SD hingga SMA dan bisa 'murah' itu hanya sampul. Kenyataannya tidak demikian. Di SD Negeri saja yang katanya gratis, tetap anak-anak harus bayar iuran ini-itu, yang orangtuanya kadang repot mencarinya dari mana. Ya memang bisa dimaklumi karena manajemen sekolah juga punya biaya operasional, yang mereka tidak tahu dananya diambil dari mana, kecuali 'narik' dari orangtua murid.

Maklum, orang kita masih punya kebiasaan Salam Tempel. Kadang ada visitasi, kunjungan atasan. Nah, yang ini snack nya diambil dari mana duitnya? Masak dari saku pribadi Kepala Sekolah? Sementara, dana untuk snack, uang bensin 'Tamu tak diundang' ini diusahakan wajib ada. Siapa yang ngatur?

Makanya, jadi Kepala Sekolah, jadi Kaprodi atau Rektor itu nggak enak. Enaknya hanya awal bulan. Sesudah itu, ditarik sana sini. Minta dana dari murid salah, tidak ditarik ini sengsara.

Mengapa Tidak Bisa Murah

Sekolah kita tidak bisa murah karena kita terbiasa sekolah dengan fasilitas. Kita, murid, siswa, mahasiswa sudah terbiasa dengan fasilitas. Sekolah yang baik bagi kita adalah sekolah yang fasilitasnya lengkap dengan gedung megah.

Masyarakat kita pinginnya mewah tapi bayarnya murah. Mana bisa? Kita tidak mau belajar dari India. Di India, suhu bisa mencapai 40 derajat Celcius panasnya, tetapi banyak kampus yang tidak punya AC, ternyata ok-ok saja tuh kuliahnya? Mereka pintar-pintar, Bahasa Inggris nya jos-jos. Dosen di sana banyak yang gunakan Sepeda Ontel di kampus. Buku di India sangat murah, warna da kualitas kertas kuning, bagi mereka tak masalah. Tapi jangan kaget, penerbitnya sekelas Oxford dan Peterson ada di Delhi dan Bombay.

Mahasiswa kita pinginya tampil keren. Dosen kita? Boro-boro sepeda Ontel, naik motor aja ogah. Hubungan antara orangtua/wali murid dengan kampus dan mahasiswa ini kayak pepatah Jawa, "Tumbu oleh tutup", artinya klop. Orangtua murid pinginnya begitu, dosen dan kampus inginnya juga begitu.
Jadi, kalau sekolah atau kuliah di negeri ini tetap mahal, jangan ngeluh!

Kuliah Masa Depan

Maksud saya begini lho.... Kita ini sebetulnya punya banyak orang pintar, tapi tidak cerdas. Kita bilang system pembelajaran student oriented, nyatanya profit oriented.

Konkritnya bagaimana?  Kampus itu kalau sudah berdiri megah, ya tidak usah lah ditambah-tambah. Mau sampai tingkat berapa sih? Akibatnya, orangtua tidak tambah berat beban biaya kuliah untuk anaknya.

Berikan pilihan dua system perkuliahan. Kalau mau Online boleh, harganya lebih murah. Yang on campus boleh juga. Tapi kalau sudah ada gedung, ya..jangan ditarik uang gedung lagi lah. Biar tidak terkesan serakah.

Zaman sekarang ini, yang namanya seragam, jas almamater itu sudah tidak musim. Itu hanya nambah beban biaya yang tidak perlu. Kita butuh anak-anak yang baik dan pintar. Tidak butuh penampilan.

Biaya daftar ulang, ujian semester, jadikan satu saja dengan biaya kuliah per semester. Sehingga tidak kerepotan. Zaman gini koq masih ada bayar daftar ulang, biaya wisuda, biaya ambil ijazah, foto copy ijazah dan seterusnya, kayak era 80-an aja.

Generasi 2020 ini tidak habis mikir. Sebetulnya bapak-bapak, ibu-ibu senior lulusan kuliah 20-40 tahun lalu itu, dulu kuliahnya di mana ya, koq system pendidikan kita makin rumit, makin mahal dan tidak praktis?
 

Belum lagi sulitnya cari kerja sesuda wisuda. Masak tidak bisa didesain kayak HP, makin banyak, makin modern makin terbuka untuk ditawar dan bisa murah.

Harusnya harga pendidikan kayak gitu. Jangan harga pas. Bisa nego lah!

Malang, 20 July 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun