Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

"Ghost Writer" dan Suka Dukanya

6 Juni 2020   19:45 Diperbarui: 8 Juni 2020   04:00 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat kuliah, jumlah teman-teman seangkatan yang suka menulis sangat minim. Mungkin kurang dari 5%. Padahal, kami pintar-pintar kalau untuk urusan baca tulis. Hampir setiap mata kuliah ada penugasan menulis. 

Dalam mata kuliah ilmu keperawatan misalnya, bisa dipastikan setiap dosen memberikan penugasan 'academic writing skills'. Anehnya, sesudah lulus, jumlah teman-teman yang menerapkan apa yag dipelajari di kampus dalam bentuk tulisan, almost zero percent.

Keterampilan menulis itu tidak ubahnya seperti keterampilan misterius. Keterampilan yang menjadikan orang bertanda-tanya, sebenarnya bisa tidak sih dengan pintar nulis itu akan memberikan 'masa depan'? Menjawabnya tidak gampang.

Sekalipun demikian, kita tidak menolak, bahwa kemampuan menulis banyak dibutuhkan di mana-mana. khususnya di kalangan akademisi. Mahasiswa saja sebagai contoh, dituntut memiliki kemampuan nulis sejak dari awal.

Bayangkan, jumlah kampus di Indonesia mencapai angka 2500 pada tahun 2018 lalu (Dirjen Kemenristekdikti). Sementara unit perguruan tinggi yang terdaftar mencapai 4.504 unit. 

Jumlah mahasiswanya mencapai 7.5 juta orang. walaupun terhitung kecil untuk ukuran populasi usia, dalam hitungan bisnis, itu mestinya 'menguntungkan' bagi yang jeli melihatnya.

Dalam hitungan bisnis, bentuk penugasan yang diberikan oleh dosen kepada mahasiswa ini sebenarnya sangat 'menjanjikan'. Ironisnya, di Indonesia, menulis rata-rata belum begitu disebut sebagai passion mahasiswa.

Ada beberapa penyebab mengapa mahasiswa yang pintar dan bisa nulis namun malas menulis.

Pertama, saat sekolah kita hanya diajar bisa menulis tapi tidak diajar menyintai menulis. Saat masuk pertama kali kampus misalnya, mungkin saja ada kampus yang mengajarkan 'academic writing skills' di awal-awal mengikuti perkuliahan. Namun rata-rata kampus menganggap mahasiswa mereka sudah 'pintar' nulis. 

Nyatanya tidak demikian. Keterampilan ini sebenarnya keterampilan dasar yang butuh penajaman. Akibatnya, mahasiswa banyak yang pintar menulis sebatas pada menyelesaikan untuk tugas dan mendapatkan nilai. Mahasiswa tidak pernah menyintai seni menulis.

Kedua, menulis itu hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Bukan bagian dari tujuan itu sendiri. Akibatnya, banyak mahasiswa yang memang menyelesaikan tugas-tugas dosen, baik berupa article, studi kasus, skripsi hingga disertasi. 

Bukan rahasia lagi, karena kita belum memiliki system yang baik, terintegrasi serta model penyimpanan data karya tulis yang baik, mahasiswa akhirnya cenderung ambil jalan pintas. Mereka menyontek karya kakak tingkat atau dari kampus lain, atau lewat internet. Sangat gampang.

Ketiga, keterampilan menulis dianggap tidak memberikan hasil dalam bentuk finansial yang instant dan dalam jumlah besar. Akibatnya tidak pernah diseriusin. Walaupun dapat nilai bagus dari hasil penugasan, hanya sebatas di situ. Tidak dilanjutkan potensinya. Tidak jarang mereka menyuruh orang lain atau membeli tulisan.

Kesenjangan inilah yang menyebabkan muncul profesi baru, Ghost Writer atau Penulis Bayangan. Penulis gelap yang mengisi kekosongan peluang bisnis lantaran mahasiswa, praktisi atau akademisi yang tidak doyan nulis. Penulis Bayangan ini mengerjakan suatu karya literature untuk atau atas nama orang lain.

Saya pernah mengalami dan ikut serta terlibat langsung dalam bisnis ini. Saya melihat di Indonesia sangat bagus masa depannya karena itu tadi, mahasiswa, professional dan akademisi kita banyak yang 'malas' menulis.

Kita rata-rata masih suka "mie instant'. Suka yang siap pakai tanpa susah payah. Kayak bikin SIM tanpa ikutan test. Masuk PNS tanpa seleksi. Dapat bayaran, tanpa kerja.

Apa suka dukanya menjadi Ghost Writer?
Sukanya di antaranya adalah dibayar cash, kontan, jumlahnya lumayan cukup besar ketimbang jualan pulsa, tidak perlu kerja keras kecuali gunakan otak, pikiran dan keterampilan menganalisa makin tajam. Makin sering belajar, baca buku, makin luas wawasan, dikenal orang-orang 'besar'.

Memang tidak gampang jadi Ghost Writer. Untuk meyakinkan klien, harus ada bukti karya nyata. Mereka minta bahwa karya kita benar-benar berkualitas. 

Risikonya, mereka bisa kecewa dan kita tidak digunakan lagi. Pasar bisa mati. Jadi Ghost Writer harus hati-hati. Pasang tarif pun tidak sembarangan. Ada biaya-biaya tertentu yang harus dirinci. Khususnya apabila proses penulisan diikuti dengan penerbitan butu. 

Rincian biaya bisa meliputi: biaya membeli buku referensi, biaya mengetik, biaya menemukan ide, biaya review, penerjemahan bahasa Inggris dan lay out. Sedangkan untuk pembuatan buku, rinciannya juga beda. Mencakup layout, biaya ISBN, design cover, serta harga cetak. Keuntungan bisa di atas angka 10 jutaan.

Karena itu, bagusnya, Ghost Writer ini memiliki Tim. Tim bisa terdiri dari perencana atau pembuat ide, pembeli referensi, layout, penganalisa penelitian dan pembuat layout serta design cover. 

Tim bisa terdiri dari 3 orang, yang akan berbagi keuntungan. Keuntungan yang didapat bukan hanya dalam bentuk Rupiah. Namun juga pengalaman bekerja dalam Tim. Lagi pula, kerja model Ghost Writer ini tidak perlu full time.  Bisa part time atau sambilan atau Freelancer.

Kerugiannya ya itu tadi. Jika tidak teliti atau pandai-pandai mengambil hati klien, Ghost Writer bisa kehilangan pelanggan. Klien nya Ghost Writer ini, asal tahu saja, jumlahnya minim. 

Biasanya hanya orang berduit. Bukan hanya punya duit. Dosen senior saja misalnya belum cukup. Mereka umumnya butuh karya untuk kenaikan pangkat atau jabatan. Mahasiswa butuh untuk skripsi, thesis dan disertasi. Mahasiswa biasanya tidak mampu untuk bayar malal. Intinya, pasarnya Ghost Writer ini terbatas pada kalangan tertentu yang benar-benar mampu.

Kelemahan lainnya adalah kualitas tulisan. Jika tidak bagus, kita belum sanggup memberikan bukti bahwa karya kita dimuat atau diterbitkan, rasanya agak sulit mendapat kepercayaan klien. Oleh sebab itu Ghost Writer harus konsisten guna mempertahankan kualitas tulisan. Jangan menulis sambilan. Ibarat pisau, tidak bakal tajam karena jarang diasah.

Ringkasnya, sebetulnya enak sekali jadi Ghost Writer. Walaupun di akhir proyek nama kita tidak tertuang, tetapi kepuasan tidak akan punah. Mau coba?
Malang, 5 June 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun