Mohon tunggu...
Ricky Donny Lamhot Marpaung
Ricky Donny Lamhot Marpaung Mohon Tunggu... Ilmuwan - Your Future Constitutional Judge

Pemerhati Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Judicial Review, Benteng Terakhir Mahkamah Konstitusi

9 Oktober 2019   00:23 Diperbarui: 9 Oktober 2019   00:40 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

      Seringkali kita mendengar istilah judicial review atau kita kenal pengujian undang-undang. Tata pelaksanaan tahapan perkara judicial review tidaklah mudah melalui berbagai proses dari pengajuan permohonan, pemeriksaan kelengkapan, perbaikan permohonan, registrasi, penyampaian salinan permohonan dan pemberitahuan sidang pertama, dst. 

Melalui proses inilah kita melihat tafsiran hakim berdasarkan yurisprudensi dan pengamatan sembilan hakim konstitusi. 

Terhadap perkara yang berakhir kepada sidang pengucapan putusan yang merupakan tahap akhir oleh minimal tujuh hakim Mahkamah Konstitusi adalah gerbang menuju dikeluarkannya hasil putusan terhadap access to justice terhadap rasa keadilan rakyat. 

Secara jelas berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No 24 Tahun 2003, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UU diatasnya yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini perlu diperhatikan secara substansial karena kewenangan Mahkamah Konstitusi hadir untuk memberi ruang terbuka bagi siapapun yang hendak berseberangan dengan legislator rakyat yang dianggap tidak memihak kepada kepentingan rakyat secara luas. Maka dari itu, hak konstitusional setiap rakyat Indonesia direpresentasikan secara langsung melalui Mahkamah Konstitusi.

       Pada dasarnya, pemohon judicial review adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang tertuang di Pasal 51 ayat 1 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi  terdiri dari  perorangan, kesatuan masyarakat  hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara. 

Namun, dalam konteks berbangsa dan bernegara optimalisasi judicial review belum menemui jalan yang benar. Seringkali, kita melihat kondisi permohonan sampai kepada tahap perbaikan permohonan gagal ditengah jalan atau menemui jalan buntu dan bahkan muncul gugatan tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO) akibat gugatan tidak memiliki dasar hukum yang kuat,dsb. 

Peran Mahkamah Konstitusi seharusnya hadir lebih substantif guna menyuarakan cara melakukan judicial review secara yuridis dalam tata kelola beracara di pengadilan baik itu secara teoritis dan praktis sehingga bukan dari banyaknya pemohon, tetapi konkritnya hasil dari sebuah judicial review yang akan diajukan. 

Meskipun sosialiasasi tematik, pekan konstitusi, temu muka dengan publik secara hand in hand sudah masif, tetapi praktek di lapangan masih ditemukan banyak sekali kasus kurangnya informasi terhadap penyelenggaraan berbangsa dan bernegara dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.

The Guardian of Constitution

       Jargon ini menjadi milik sepenuhnya Mahkamah Konstitusi dalam mengawal perkembangan hukum tata negara yang bersifat final dan  mengikat (verbindende kracht). 

Dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi hal 91-92 dijelaskan bahwasanya ada dua proses yang dimaknai secara positif yaitu mendorong terjadinya proses politik dan mengakhiri sebuah sengketa hukum. 

Jika kita menilik lebih jauh, peran Mahkamah Konstitusi dalam sebuah putusan bersifat final dan mengikat adalah mendorong jika diadakannya amandemen atau perubahan UU, proses politik akibat terjadinya pemilihan umum, dan putusan MK yang berkaitan dengan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur didalam UUD 1945 akibat dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi. 

Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang luas inilah seharusnya menjadi tolak ukur untuk melindungi segenap bangsa dan rakyat Indonesia. Mengapa ditafsirkan melindungi?

Karena sudah menjadi tugas Mahkamah Konstitusi menjadi pilar kokoh bagi para pemohon untuk beradu nasib mengeluarkan legal standing sehingga tidak menghasilkan distorsi politik di ranah keadilan. Independensi inilah perlu dijaga agar wibawa Mahkamah Konstitusi tetap berada di on track.

      Porsi keadilan tidak bisa diprediksi, tetapi bisa ditimbang dengan adanya beragam kasus produk revisi UU yang tengah mengancam negeri ini. Keberpihakan Mahkamah Konstitusi sedang dipertanyakan, tetapi  bentuk itu bagian dari check and balances sebuah lembaga. 

Wajar saja jika publik mempertanyakan kelayakan dan independensi ini, namun semuanya untuk satu tujuan yaitu memperkokoh dinding sembilan pilar konstitusi yang berdiri tegak mengawal proses demi proses sistem peradilan di Indonesia khususnya Mahkamah Konstitusi dalam hal ini.

Upaya Memperkokoh Benteng

       Dengan maraknya kasus revisi UU yang menarik polemik akhir-akhir ini, banyak diantara kita berpikiran bagaimana nanti penyelesaian RUU yang sedang digodok di DPR dapat berjalan semestinya?. Jawaban itu muncul di Mahkamah Konstitusi untuk memperkokoh benteng peradilan melalui proses judicial review. Meminjam adagium "salus populi suprema lex" atau  keselamatan rakyat itu adalah hukum tertinggi suatu negara. Posisi ini memperbaiki bahwasanya konstitusi harus memikirkan keadaan rakyat secara adil dan merata tanpa melihat ambisi sebuah lembaga untuk tetap berada pada jalur yuridis tanpa politis. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi harus menjadi lembaga kredibel dan terpercaya untuk  secara konsisten adil mengawal setiap judicial review tanpa terkecuali.

      Adanya revisi UU bukan untuk terpancing antara melemahkan atau menguatkan, tetapi peran Mahkamah Konstitusi yang diwakili sembilan hakim Mahkamah Konstitusi untuk ikut menentukan arah tujuan dari masa depan bangsa Indonesia melalui sidang akhir sebuah putusan apakah putusan diterima atau ditolak. Namun, bahwasanya lebih besar dari itu untuk menghadirkan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu, hak konstitusional tidak boleh dicederai dan bukan sekadar anggapan belaka namun secara garis besar perlu diperjelas dengan harapan akan diperolehnya supremasi hukum.

     Sudah sekian lama Mahkamah Konstitusi berdiri tepatnya di tahun 2003, dengan segala hiruk-pikuk peradilan yang dipenuhi pro-kontra keadilan. Inilah saat yang tepat untuk kembali menjaga lambang dan nama baik Mahkamah Konsitusi sebagai benteng keadilan terakhir negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun