Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tuan Marx, Bukan Hanya Agama, Sepak Bola Juga Candu

17 November 2020   10:42 Diperbarui: 17 November 2020   22:00 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya yakin Karl Marx bukan pemikir yang gemar sepak bola. Waktu dia menulis das Kapital dan Manifesto Komunis, sepak bola bukan olahraga yang populer barangkali. 

Maka wajarlah jika dia menganggap satu-satunya candu (opium) yang bisa membuat manusia lupa akan segala macam penindasan dan ketidakadilan terhadapanya adalah agama. 

Meski konsep ini terlebih dulu lahir dari analisis Feuerbach, Marx menganggap agama telah meninabobokan kaum proletar sehingga mereka tidak sanggup melihat kemiskinan dan ketidakadilan sebagai akibat dari eksploitasi kaum kapitalis terhadap barang-barang ekonomi.

Masalahnya, Marx keliru mengklaim agama sebagai candu bila ia lahir dan hidup lebih kemudian. Paling tidak di akhir abad-19 dan di awal abad-20 sampai sekarang, dia sudah bisa merasakan bagaimana sepak bola betul-betul menghipnotis dan membuat orang lupa akan segala penderitaan. 

Meski ia lama tinggal di Inggris, ia belum juga sadar kalau penonton tradisional yang datang berduyun-duyun ke stadion-stadion sepak bola adalah kelas buruh dan pekerja yang sudah lelah banting-tulang di pabrik-pabrik dan gua-gua tambang. Menyaksikan sepak bola sambil menikmati segelas bir di atas tribun sudah cukup untuk membuat mereka bahagia. 

Kebiasaan ini pun menyebar hingga ke seluruh daratan Eropa dan benua Amerika. Belakangan para bobotoh, the Jack Mania dan ultras sepak bola Indonesia yang memenuhi tribun, mayoritas adalah kelas menengah ke bawah yang ingin sejenak melupakan kerasnya hidup dengan segala macam problem di sekitarnya.

Piala Dunia tahun 1978 di Argentina, bagi banyak penulis dan analis sepak bola, adalah piala dunia paling korup dan menjijikan yang pernah ada. Walau sang tuan rumah sukses untuk pertama kalinya menjadi kampiun setelah mengandaskan Belanda, cerita-cerita di balik terselenggaranya turnamen sepak bola paling bergengsi sejagad ini penuh dengan air mata.

Menjelang Piala Dunia 1978 dihelat, rezim yang berkuasa di Argentina adalah junta militer yang memimpin dengan tangan besi. Berbagai macam pembunuhan, penculikan dan penindasan terhadap rakyat kecil dilakukan oleh pemerintah dikatator kala itu.

Untuk memberi kesan baik terhadap masyarakat Internasional yang sebenarnya mulai mengendus penderitaan yang dialami masyarakat Argentina, rezim memutar otak; memenangi Piala Dunia adalah sarana yang tepat untuk mempersatukan kembali masyarakat Argentinapaling tidak di mata dunia. Diadakanlah Piala Dunia di Argentina.

Persoalannya Argentina tak punya uang untuk membangun stadion dan fasilitas-fasilitas lainnya. Alhasil pemerintah junta militer membatalkan semua proyek pembangunan dalam negara yang tidak ada hubungannya dengan Piala Dunia dan mengalihkan dana itu untuk membangun stadion, jalan yang mengarah ke stadion dan memperkenalkan TV berwarna ke rakyat Argentina. 

Beberapa laporan menyebutkan angka 700 juta dollar yang keluar dari kantong pemerintah---tiga kali lebih banyak dari yang dikeluarkan Spanyol untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia empat tahun kemudian. Uang yang besar ini mustahil kalau tidak masuk ke dalam kantong pribadi para dikatator.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun