Masuk ke hutan, sebuah tikungan tajam dan menanjak kami temui. Awang sempat kaget. Apalagi di hadapan kami sebuah mobil melaju. Sementara jalanan sempit. Awang banting setir agak ke kiri. Bamper mobil kami sempat menabrak pinggiran jalan yang menikung. Nyaris kami jatuh ke jurang.
Kami putuskan berhenti. Memeriksa bagian mobil kami yang terkena pinggiran jalan beton itu. Tampak sejumlah pesepeda motor yang sepertinya warga lokal menghentikan sepeda motor. Mereka mengamati kami. Mungkin, memastikan bahwa kami baik-baik saja.
Setelah kami kembali ke mobil dan melajukan mobil, warga lokal itu pun kembali melajukan sepeda motor mereka. Tapi, rupa-rupanya perjalanan kami terasa makin jauh. Kami memasuki hutan yang makin dalam.
Saat menemukan perkampungan, rupanya itu pun perkampungan dalam. Artinya, jalan yang kami lalui memang bukan jalan utama. Hanya jalan desa atau jalan-jalan kecil yang menghubungkan kampung-kampung.
Begitu pula saat memasuki jalan raya di Kebumen. Kami baru menyadari, bahwa jalur yang kami lintasi bukan jalur utama. Kami keluar dari sebuah gang kecil. Parahnya lagi, kami baru sampai di Kebumen pukul delapan malam. Artinya, perjalanan kami molor hingga empat jam lebih dari estimasi waktu yang semestinya.
Sungguh, pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bagi saya. Bahwa, mesin navigator itu sekalipun cukup membantu, akan tetapi juga tak selamanya dapat diandalkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI