Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... pengembara kata

Penyiar radio yang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Seandal Apa Google Maps?

5 Oktober 2025   03:31 Diperbarui: 5 Oktober 2025   03:31 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perjalanan yang menantang (Sumber: dok.pribadi)

Tak selamanya google maps bisa diandalkan. Malahan, bisa membuat perjalanan kita makin nggak karuan. Seperti yang saya alami saat perjalanan menuju Kota Lawet, 5 Juli 2025 lalu.

Kami bertiga (saya, Awang, dan Handono) bertolak dari Pekalongan selepas waktu zuhur. Perkiraan, kami akan tiba di lokasi acara pada pukul empat atau lima sore. Awang yang mengemudikan mobil. Handono, saya percayakan sebagai navigator. Dia satu-satunya orang di antara kami yang pernah pergi ke Kebumen.

Perjalanan dimulai. Kami melintas di jalan kawasan selatan Pekalongan. Dimulai dari Kajen menuju Paninggaran. Perjalanan Kajen-Paninggaran boleh dibilang masih aman. Kami sudah cukup akrab dengan jalanan menuju Paninggaran.

Begitu pula dari Paninggaran menuju Kalibening. Masih tergolong aman. Hanya, saat kami mulai lepas dari Kalibening, agaknya sang navigator mulai mabuk darat. Kami sempat berhenti dua kali. Hanya untuk membuat kondisi sang navigator kami memulih.

Tetapi, agaknya usaha itu sia-sia belaka. Kondisi Handono belum juga pulih. Malah, ia tertidur di jok belakang. Walhasil, peran dia sebagai navigator terpaksa digantikan google maps, aplikasi yang katanya serba tahu jalur ke semua tujuan.

Sesampainya di Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, kami dianjurkan aplikasi penunjuk arah itu untuk berbelok ke arah kanan. Mula-mula jalanan yang kami lalui cukup mulus. Hanya agak menurun. Akan tetapi, lama-lama jalan yang kami lalui makin menyempit.

Tak hanya itu, jalanan yang kami lintasi juga makin meliuk-liuk. Makin jauh pula dari kampung. Bahkan, melintasi kawasan hutan.

Sejak masuk hutan, saya dan Awang mulai curiga, anjuran yang diberikan mesin navigasi ini sudah nggak beres. Sebab, makin kami melajukan mobil, kami makin memasuki jalanan terjal dan sepi. Kondisi jalannya juga rusak parah. Sampai-sampai mobil yang kami tumpangi tak kuat nanjak. Tak hanya sekali, melainkan dua kali. Dugaan saya, Awang panik.

Pertama, di tengah hutan dengan jalanan yang kondisinya berlubang dan rusak parah. Kondisi itu makin parah karena genangan air hujan yang berbaur dengan lumpur membuat roda mobil kami mengalami sedikit masalah.

Di saat itu, Awang memutuskan untuk berhenti. Tak berani memaksakan mobil kami terus melaju. Hampir pula mobil kami masuk jurang. Sebab, jarak roda mobil dengan tepian jalan yang berdampingan dengan jurang tinggal sejengkal.

Kami terpaksa menunggu bantuan. Siapa tahu ada mobil yang melintas. Dan, memang agak lama kami menunggu.

Untunglah, ada beberapa mobil yang melintas. Awang meminta pengemudi mobil itu untuk mengemudikan mobil sebentar hingga benar-benar lepas dari tanjakan maut itu. Pak sopir mobil itu pun tak berberat hati. Bahkan, dengan sigap langsung tancap gas.

Agaknya, sopir yang menolong kami adalah warlok (warga lokal). Ia lincah betul meningkahi tanjakan itu. Uniknya lagi, pak sopir itu bahkan menolak kami beri imbalan.

Lepas dari kejadian itu, Awang rupanya masih memerlukan beberapa waktu untuk tenang. Ya, ia masih tegang dan panik. Seumur hidup, ia baru melintasi jalanan yang begitu terjal dan berbahaya.

Setelah ia benar-benar tenang, ia lajukan kembali mobil kami. Sejak itu, saya dan Awang mulai mengungkapkan keragu-raguan kami atas arah yang dianjurkan mesin navigasi itu. Kepada Handono, kami katakan, bahwa kami sepertinya tersesat.

Handono hanya tertawa. Ia malah menyalahkan kami yang katanya terlalu percaya pada aplikasi. "Kan saya sudah bilang, mestinya ambil yang jalan lurus. Supaya kita ketemu jalan protokol," ucapnya.

Kami agak dongkol dengan ucapan Handono. Sebab, mula-mula kami hanya menuruti arahannya. Melintasi jalur Kajen-Banjarnegara. Tetapi, di perjalanan ia malah tertidur. Walau sempat terbangun sejenak, saat kami tanyakan jalur mana yang harus kami lalui, ia tak memberi kami jawaban.

Akhirnya, kami lanjutkan perjalanan. Kami susuri jalan hutan itu. Makin kami masuk ke jalan itu, kami merasa semakin tersesat. Kami mestinya tiba di lokasi acara pukul enam petang. Nyatanya, kami masih berada di jalanan hutan yang gelap.

Kami sama sekali tak mengenali lokasi kami berada. Perkampungan tak kami temukan. Sampai-sampai, saat kami menjumpai tanjakan yang curam, di depan kami sebuah mobil elf sempat pula tak kuat menanjak. Kami hendak mendahului. Hanya, dari arah depan sebuah sepeda motor melaju. Mobil kami kehilangan tenaga. Dan, kembali terhenti di tengah tanjakan.

Situasi itu membuat kami tegang. Apalagi kedua mobil di tanjakan sama-sama saling menunggu sejenak. Lantas, kami memilih mundur. Memberi kesempatan mobil elf yang juga terhenti itu untuk melanjutkan perjalanan.

Sampai di jembatan kecil, kami mulai pasang ancang-ancang untuk kembali melaju dan menaklukkan tanjakan. Alhamdulillah, kali ini berhasil. Tetapi, makin kami masuk ke jalan itu pemandangan yang kami dapatkan hanya gelap. Ditambah guyuran hujan yang tak juga berhenti.

Masuk ke hutan, sebuah tikungan tajam dan menanjak kami temui. Awang sempat kaget. Apalagi di hadapan kami sebuah mobil melaju. Sementara jalanan sempit. Awang banting setir agak ke kiri. Bamper mobil kami sempat menabrak pinggiran jalan yang menikung. Nyaris kami jatuh ke jurang.

Kami putuskan berhenti. Memeriksa bagian mobil kami yang terkena pinggiran jalan beton itu. Tampak sejumlah pesepeda motor yang sepertinya warga lokal menghentikan sepeda motor. Mereka mengamati kami. Mungkin, memastikan bahwa kami baik-baik saja.

Setelah kami kembali ke mobil dan melajukan mobil, warga lokal itu pun kembali melajukan sepeda motor mereka. Tapi, rupa-rupanya perjalanan kami terasa makin jauh. Kami memasuki hutan yang makin dalam.

Saat menemukan perkampungan, rupanya itu pun perkampungan dalam. Artinya, jalan yang kami lalui memang bukan jalan utama. Hanya jalan desa atau jalan-jalan kecil yang menghubungkan kampung-kampung.

Begitu pula saat memasuki jalan raya di Kebumen. Kami baru menyadari, bahwa jalur yang kami lintasi bukan jalur utama. Kami keluar dari sebuah gang kecil. Parahnya lagi, kami baru sampai di Kebumen pukul delapan malam. Artinya, perjalanan kami molor hingga empat jam lebih dari estimasi waktu yang semestinya.

Sungguh, pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bagi saya. Bahwa, mesin navigator itu sekalipun cukup membantu, akan tetapi juga tak selamanya dapat diandalkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun