Parahnya lagi, ketika sang pejabat ini kerap mengkorelasikan literasi dengan hal-hal lain. Terutama, aktivitas di luar membaca dan menulis. Dalihnya, literasi tak sekadar membaca. Akan tetapi, juga dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk kegiatan lain. Berkesenian, bertani, berdagang, dan lain sebagainya.
Sayang, dalam pidato itu sang pejabat agaknya kurang mampu memberikan penjelasan yang terperinci mengenai korelasi antara literasi dengan kegiatan-kegiatan yang disebutnya sebagai bagian dari literasi. Sehingga, muncul kesan bahwa membaca hanya bagian kecil dari kegiatan literasi. Padahal, tidak demikian.
Justru, aktivitas membaca merupakan roh dari gerakan literasi. Begitu juga dengan menulis. Kedua aktivitas itu menjadi satu paket yang tak bisa dipisahkan. Keduanya adalah denyut nadi kehidupan literasi.
Sayang, pemahaman yang demikian tak sempat tersampaikan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat lewat corong yang kerap didengung-dengungkan pejabat publik tadi. Sebaliknya, pemahaman mengenai aktivisme literasi yang beraneka itu justru memberi kesan yang berbeda. Saya malah menangkap kesan, ada semacam pengabuan tentang kebiasaan membaca yang ia lakukan.
Tentu, saya berharap dugaan saya keliru. Besar harapan saya, sang pejabat ini adalah seorang pembaca yang baik. Memiliki penguasaan berbagai bahan-bahan referensial yang baik. Sehingga, setiap pernyataan yang disampaikan di ruang publik benar-benar lahir dari kemampuannya mengolah dan mengelola bahan-bahan referensial itu.
Tak hanya itu, kemampuan itu juga akan memengaruhi pula cara pandangnya dalam memikirkan setiap masalah yang dihadapi masyarakat. Sehingga, kebijakan-kebijakan yang diambil benar-benar didasarkan dari pemahaman dan penghayatan yang mendalam. Bukan semata-mata mengambil jalan pintas yang sifatnya sangat insidentil, tanpa pertimbangan matang dan berdaya jangkau luas dan panjang.
Di lain hal, pemahaman dan penghayatan seorang pejabat atas bacaan-bacaan itu juga diharapkan mampu menggugah kesadaran atas nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, sang pejabat memiliki kedekatan emosional dengan masyarakatnya. Sehingga, ketika berhadapan dengan realita yang kurang menguntungkan, ia akan benar-benar menjadi sosok yang dapat merasakan betul penderitaan rakyatnya. Bukan semata-mata "drama politik" yang dimainkan lewat potret pencitraan.
Dan, yang paling akhir, kemampuan membaca seorang pejabat pada dasarnya menjadi bekal bagi dirinya di dalam merumuskan formula yang tepat tentang masa depan daerah yang dipimpinnya. Di sinilah, visi dan misi seorang pejabat akan teruji. Apakah benar ia telah menjadi seorang pembaca yang tuntas? Apakah ia sekadar tampil?
Saya kira, patutlah bagi para pejabat publik daerah membaca catatan-catatan para pendahulu. Misal, Pangeran Diponegoro yang ditulis dalam autobiografinya Babad Diponegoro. Atau, Sultan Agung yang menulis kitab Sastra Gendhing. Begitu pula Mangkunegara IV yang menulis Serat Wedhatama. Atau, karya dari Pakubuana IV, Serat Wulangreh. Atau juga, Serat Kalatidha karya pujangga Jawa, R.Ng. Ranggawarsita. Dan tentu saja, karya-karya lainnya. Seperti Nagarakrtagama, Sutasoma, dan lain-lain.
Selain itu, juga perlu membaca karya-karya lain yang lahir di masa modern. Macam karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, WS. Rendra, Emha Ainun Nadjib, Sapardi Djoko Damono, Danarto, Kuntowijoyo, Gunawan Mohamad, dan sebagainya. Sebab, menurut saya, karya sastra sangat penting untuk mereka kuasai, sebagaimana pernah diungkap Kuntowijoyo dalam novel Pasar.Â
Bahwa, jika hendak menjadi seorang pemimpin, ia mesti menguasai sastra. Sebab, karya sastra---termasuk di dalamnya cerita rakyat (sastra lisan)---tidak sekadar memuat cerita rekaan. Akan tetapi, juga menyingkap rahasia-rahasia kehidupan yang amat dalam dan sangat pribadi.