Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... pengembara kata

Penyiar radio yang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Kampanye Literasi Jangan Sampai Tanpa Makna

28 September 2025   18:26 Diperbarui: 30 September 2025   14:46 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah anak membaca buku bersama di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di Kampung Loa, Desa Sukaluyu, Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (29/11/2021). (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)

Kampanye gemar membaca agaknya sudah tak asing lagi di telinga. Hampir di setiap acara yang menghadirkan pejabat publik, saya kerap mendengar ajakan agar masyarakat gemar membaca dalam pidato-pidato mereka. Saking kerapnya mendengar pidato mereka, saya hampir-hampir hafal isi pidatonya.

Paling sering, kegemaran membaca itu dikaitkan dengan pemerolehan informasi. Sang pejabat kerap mewanti-wanti, agar masyarakat lebih berhati-hati dan cermat membaca berita. Lebih-lebih, berita yang bombastis.

Konon, berita yang demikian rawan mengandung kebohongan alias hoaks. Sehingga, apabila disebarluaskan lewat media sosial berpotensi menimbulkan masalah baru. Untuk alasan itu, sang pejabat lantas menganjurkan agar masyarakat menjadikan membaca sebagai kebutuhan.

Tak hanya itu, sang pejabat ini kerap pula mengingatkan dampak penyebaran berita-berita bombastis itu di media sosial. Konon, penyebaran berita yang demikian menimbulkan respons yang buruk dari masyarakat. Memicu komentar-komentar yang tak sedap dipandang mata.

Ihwal itu cukup membuat sang pejabat merasa prihatin. Menurutnya, komentar-komentar yang demikian tidak perlu muncul. Sebab, ada kalanya komentar-komentar itu menimbulkan distorsi etika dalam berkomunikasi.

Fenomena itu, oleh sang pejabat, dipandang sebagai lemahnya kemampuan masyarakat dalam berliterasi. Ia menilai, masyarakat tidak cukup mampu membaca dengan cermat fakta-fakta yang tergelar. Bahkan, menganggap masyarakat mudah dipengaruhi oleh kabar-kabar miring.

Memang, pesan sang pejabat ini tak sepenuhnya keliru. Kebiasaan membaca perlu dan sangat butuh untuk ditanamkan kepada masyarakat. Khususnya, di era disrupsi informasi seperti sekarang ini.

Akan tetapi, tujuan pembiasaan membaca tak sepraktis itu. Yaitu, hanya untuk membuat masyarakat melek informasi. Jauh lebih mendalam, pembiasaan membaca punya kekuatan yang erat kaitannya dengan upaya membangun kesadaran di dalam menemukan cara pandang baru tentang dunia.

Hal itu yang agaknya luput diungkapkan sang pejabat dalam berbagai kesempatan. Yang kerap disampaikan, sekadar ungkapan arkais. Bahwa, buku adalah jendela dunia. Maka, dengan membaca, seseorang bisa mengetahui banyak hal. Artinya, membaca sekadar menjadi wahana untuk memperkaya pengetahuan.

Padahal, kemampuan berliterasi tak sekadar bagaimana menghimpun pengetahuan. Lebih dari itu, kemampuan berliterasi juga berkait erat dengan kemampuan seseorang mengelola pengetahuan itu menjadi sumber referensial bagi upaya-upaya sadar di dalam memenuhi kebutuhan hidup. Khususnya lagi, dalam mengelola kepribadian yang matang.

Parahnya lagi, ketika sang pejabat ini kerap mengkorelasikan literasi dengan hal-hal lain. Terutama, aktivitas di luar membaca dan menulis. Dalihnya, literasi tak sekadar membaca. Akan tetapi, juga dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk kegiatan lain. Berkesenian, bertani, berdagang, dan lain sebagainya.

Sayang, dalam pidato itu sang pejabat agaknya kurang mampu memberikan penjelasan yang terperinci mengenai korelasi antara literasi dengan kegiatan-kegiatan yang disebutnya sebagai bagian dari literasi. Sehingga, muncul kesan bahwa membaca hanya bagian kecil dari kegiatan literasi. Padahal, tidak demikian.

Justru, aktivitas membaca merupakan roh dari gerakan literasi. Begitu juga dengan menulis. Kedua aktivitas itu menjadi satu paket yang tak bisa dipisahkan. Keduanya adalah denyut nadi kehidupan literasi.

Sayang, pemahaman yang demikian tak sempat tersampaikan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat lewat corong yang kerap didengung-dengungkan pejabat publik tadi. Sebaliknya, pemahaman mengenai aktivisme literasi yang beraneka itu justru memberi kesan yang berbeda. Saya malah menangkap kesan, ada semacam pengabuan tentang kebiasaan membaca yang ia lakukan.

Tentu, saya berharap dugaan saya keliru. Besar harapan saya, sang pejabat ini adalah seorang pembaca yang baik. Memiliki penguasaan berbagai bahan-bahan referensial yang baik. Sehingga, setiap pernyataan yang disampaikan di ruang publik benar-benar lahir dari kemampuannya mengolah dan mengelola bahan-bahan referensial itu.

Tak hanya itu, kemampuan itu juga akan memengaruhi pula cara pandangnya dalam memikirkan setiap masalah yang dihadapi masyarakat. Sehingga, kebijakan-kebijakan yang diambil benar-benar didasarkan dari pemahaman dan penghayatan yang mendalam. Bukan semata-mata mengambil jalan pintas yang sifatnya sangat insidentil, tanpa pertimbangan matang dan berdaya jangkau luas dan panjang.

Di lain hal, pemahaman dan penghayatan seorang pejabat atas bacaan-bacaan itu juga diharapkan mampu menggugah kesadaran atas nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, sang pejabat memiliki kedekatan emosional dengan masyarakatnya. Sehingga, ketika berhadapan dengan realita yang kurang menguntungkan, ia akan benar-benar menjadi sosok yang dapat merasakan betul penderitaan rakyatnya. Bukan semata-mata "drama politik" yang dimainkan lewat potret pencitraan.

Dan, yang paling akhir, kemampuan membaca seorang pejabat pada dasarnya menjadi bekal bagi dirinya di dalam merumuskan formula yang tepat tentang masa depan daerah yang dipimpinnya. Di sinilah, visi dan misi seorang pejabat akan teruji. Apakah benar ia telah menjadi seorang pembaca yang tuntas? Apakah ia sekadar tampil?

Saya kira, patutlah bagi para pejabat publik daerah membaca catatan-catatan para pendahulu. Misal, Pangeran Diponegoro yang ditulis dalam autobiografinya Babad Diponegoro. Atau, Sultan Agung yang menulis kitab Sastra Gendhing. Begitu pula Mangkunegara IV yang menulis Serat Wedhatama. Atau, karya dari Pakubuana IV, Serat Wulangreh. Atau juga, Serat Kalatidha karya pujangga Jawa, R.Ng. Ranggawarsita. Dan tentu saja, karya-karya lainnya. Seperti Nagarakrtagama, Sutasoma, dan lain-lain.

Selain itu, juga perlu membaca karya-karya lain yang lahir di masa modern. Macam karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, WS. Rendra, Emha Ainun Nadjib, Sapardi Djoko Damono, Danarto, Kuntowijoyo, Gunawan Mohamad, dan sebagainya. Sebab, menurut saya, karya sastra sangat penting untuk mereka kuasai, sebagaimana pernah diungkap Kuntowijoyo dalam novel Pasar. 

Bahwa, jika hendak menjadi seorang pemimpin, ia mesti menguasai sastra. Sebab, karya sastra---termasuk di dalamnya cerita rakyat (sastra lisan)---tidak sekadar memuat cerita rekaan. Akan tetapi, juga menyingkap rahasia-rahasia kehidupan yang amat dalam dan sangat pribadi.

Semoga, harapan itu terkabul. Sebab, saya sangat mendambakan seorang pemimpin, khususnya pejabat daerah yang benar-benar mampu berbicara dengan begitu memukau di hadapan publik. Serta meyakinkan. Bukan sekadar retorika yang minim argumentasi, hanya berupa ajakan atau seruan tanpa isi. Semoga demikian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun