Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... pengembara kata

Penyiar radio yang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Membaca dan Menulis Itu Seperti Bernapas

26 September 2025   20:18 Diperbarui: 26 September 2025   20:19 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membaca (Sumber: Kompas.com)

Membaca dan menulis itu dua aktivitas yang seirama dengan hidup manusia. Pam Allyn mengibaratkannya sebagai orang bernapas. "Reading is like breathing in, writing is like breathing out."

Pernyataan itu menunjukkan, betapa membaca dan menulis merupakan satu paket. Tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Membaca dan menulis ibarat napas yang memberi kesempatan dan memperpanjang hidup.

Membaca, berarti pula bahwa seseorang akan memperoleh informasi, memperluas wawasan, dan memperkaya pengetahuan. Hanya, semua informasi, wawasan, maupun pengetahuan itu tidak akan memberikan daya apapun jika tidak diolah dan dikelola. Bahkan, bisa saja akan menimbulkan gangguan apabila tidak dibagikan kepada orang lain.

Dari sini orang kemudian memahami, pengelolaan informasi maupun pengetahuan yang didapat dari membaca akan menjadi bermakna apabila diolah menjadi tulisan. Sebagaimana napas, udara yang dihirup akan dikelola dan diolah organ tubuh untuk kemudian menjadi energi. Demikian pula informasi, wawasan, dan pengetahuan yang diserap. Ia memerlukan sirkulasi yang baik.

Akan fatal akibatnya jika sampai semua hal itu mengalami kemacetan hanya karena kemalasan kita untuk berbagi, terutama dalam bentuk tulisan. Ibarat arus lalu lintas, setiap terjadi kemacetan, arus lalu lintas itu memerlukan penguraian. Jika dibiarkan, selain membuat pemandangan menjadi tidak sedap dipandang mata, juga berimbas pada polusi udara yang semakin parah, kondisi emosi yang bisa saja tak terkontrol, hingga pada kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum seperti menjebol dinding pembatas jalan, merusak fasilitas umum, dan sebagainya.

Sama halnya dengan kerja akal kita. Jika terjadi kemacetan yang kian parah, boleh jadi akan membuat akal kita kehilangan kewarasan. Kita menjadi sulit mengoordinasikan kerja pikiran. Sulit menemukan masalah yang sebenarnya.

Dan, sangat mungkin bagi kita mengalami depresi karena kebenaran-kebenaran yang kita himpun melalui segala bentuk informasi, wawasan, dan pengetahuan itu berdesak-desakan unuk bisa diyakini sebagai satu-satunya kebenaran yang benar. Fatalnya lagi, jika kemudian kita hanya mendasarkan nilai kebenaran itu dari satu sudut pandang, tanpa menghiraukan kebenaran-kebenaran lainnya.

Saat itu pula, kita akan merasakan betapa hidup serba tak mengenakkan. Kita kehilangan keluwesan dalam menghadapi kehidupan yang kompleks. Kita kehilangan rasa akrab satu sama lain. Malah cenderung menganggap orang lain lebih rendah dari kita. Mengganggap orang yang tak sepemahaman sebagai musuh. Betapa hidup terasa kaku.

Di dalam bingkai sikap kaku itu, seseorang akan cenderung memandang kehidupan dengan cara hitam-putih. Segala yang dihadapi hanya dipandang dari sudut pandang yang tunggal. Anti kritik dan semena-mena di dalam mengambil keputusan. Dengan kata lain, orang yang demikian cenderung kolot.

Pantas saja, seorang Abraham H. Maslow, psikolog Amerika pernah bilang, "A musician must make music, an artist must paint, a poet must write, if he is to be ultimately at peace with himself. What a man can be, he must be."

Bahwa aktivitas menulis, pada hakikatnya sebagai upaya untuk menjaga kewarasan berpikir dan memotivasi diri. Menumbuhkan semangat untuk hidup. Dipuncaki dengan sikap bijaksana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun