Pernah Anda menolak sebuah pekerjaan yang bergengsi? Menjadi dosen, misalnya? Pernah? Jika pernah, maka saya mesti sampaikan ucapan selamat kepada Anda. Mengapa? Karena Anda tergolong orang yang langka.
Umumnya, orang cenderung tergiur ketika mendapatkan tawaran menjadi seorang dosen. Apa pun perguruan tingginya. Orang kerap berpikir, bahwa dengan menjadi dosen, ia akan memiliki privilege. Dihormati dan dipandang sebagai seorang intelektual.
Seperti yang awam mafhumi, seorang dosen pasti telah menempuh jenjang pendidikan yang tinggi. Minimal magister (S2). Gelar itu, bagi awam, dianggap memiliki pengetahuan luas dan pemahaman yang mendalam tentang banyak hal. Dengan kata lain, seorang magister dianggap tahu segala hal.
Ya, begitulah awam memandang. Mereka tidak begitu tahu bahwa di dunia akademik itu terdapat spesifikasi. Bahkan, sekalipun Anda berusaha mengoreksi pandangan itu, upaya Anda agaknya akan menjadi sia-sia. Jadi, harap maklum saja.
Tetapi, pandangan awam itu---sekalipun terkadang membuat risih---rupanya membuat sebagian para magister---terutama yang menjadi dosen---merasa diuntungkan. Bukan hanya dihormati, melainkan karena masyarakat awam akan menjadikannya sebagai referensi. Mereka akan menjadi tempat bagi masyarakat awam bertanya tentang banyak hal. Bahkan, yang kadang tidak ada kaitan sama sekali dengan bidang keilmuan yang ditekuni.
Lebih dari itu, apa pun jawaban yang disampaikan sebagai respons atas pertanyaan-pertanyaan itu, kerap dianggap benar. Seolah-olah hal itu menandaskan, bahwa gelar magister bisa saja menjadi semacam stempel yang dapat melegalisir atas jawaban-jawaban yang diberikan. Tak peduli apakah jawaban itu sejatinya sangat umum dan sudah menjadi pengetahuan umum, atau memang spesifik dan benar.
Malahan, bisa saja seorang magister yang dosen memberikan jawaban yang asal dan sesungguhnya keliru. Akan tetapi, gelar yang disandang bisa saja menyelamatkannya dari dugaan sesat berpikir atau cacat logika. Orang akan menerima jawaban itu, bahkan nyaris tanpa koreksi.
Lha, bagaimana mau mengoreksi, sementara orang awam ini tak cukup mengerti teori, metode, maupun pendekatan ilmiah. Mereka hanya tahu bagaimana cara praktis agar lolos dari jebakan Batman ekonomi dan bisnis. Makanya, ucapan-ucapan seorang magister yang dosen itu pun menjadi semacam validasi atas pengetahuannya.
Tak heran, bila orang awam cenderung mengutip pernyataan-pernyataan sang dosen itu. Tujuannya, sekurang-kurangnya untuk memberi kesan bahwa ia punya kedekatan dengan orang yang di-privilege-kan. Atau, minimal untuk memberi kesan bahwa ia memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan sesama awam lain.
Hal itu wajar terjadi. Sebab, di dalam diri seorang manusia terdapat tiga potensi dasar. Yaitu, ambisius, kompetitif, dan perfeksionis. Bahkan, tidak menutup kemungkinan ketiga hal itu termanifestasi dalam rupa sikap yang superiority complex. Ia akan tampil percaya diri apabila mendapatkan pengetahuan itu dan dapat menjelaskannya. Apa pun rupa penjelasan itu.