Fiksi dan nonfiksi, dua hal yang oleh awam kerap dikotomikan. Seolah-olah keduanya terpisah oleh batasan-batasan tertentu. Bahkan, dibentengi oleh tembok raksasa.
Gagasan itu pula yang akhirnya dicuatkan mas Burhan, seorang mantan jurnalis yang kini menekuni bisnis, saat memoderatori gelar wicara Bedah Buku Novela Kisah Ganjil Pelaut dan Keturunannya karya Dewanto Amin Sadono, 17 September 2025 yang diselenggarakan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Pekalongan, di Gedung Depo Arsip Kabupaten Pekalongan. Mas Burhan mengaku kesulitan membedakan fiksi dan fakta dari peristiwa-peristiwa yang dikisahkan novela tersebut. Alasannya, ada beberapa peristiwa yang mirip dengan apa yang pernah ditemuinya.
Hal itu pula yang mendorong mas Burhan menyorongkan sebuah pertanyaan, "Bagaimana cara Pakdhe (sapaan akrab Dewanto Amin Sadono) menghubungkan peristiwa-peristiwa nyata dengan yang ditulis, sehingga kesan yang saya tangkap bahwa novela ini bukan sekadar cerita fiksi?"
Pertanyaan mas Burhan, bagi saya, cukup menggelitik. Bukan semata-mata diukur dari pertanyaannya, melainkan pula rasa penasaran yang ditunjukkan melalui ekspresinya saat bertanya. Apalagi ketika mas Burhan sempat menyinggung pengalamannya saat menjadi jurnalis.
Ia sempat bertutur, bahwa ia pernah meliput beberapa peristiwa yang berkaitan dengan hal-hal mistik. Sejumlah orang yang ia temui pernah mengalami kejadian mistis yang serupa. Orang-orang itu, kata mas Burhan, pernah dibawa ke alam gaib untuk beberapa lama. Saat pulang, mereka nyaris kehilangan akal warasnya.
Hal-hal ganjil semacam itu memang agak sulit dinalar. Terlebih-lebih, bagi orang yang kadung mengamini paradigma modern yang cenderung dipengaruhi cara pikir yang rasional dan logis. Sementara, novela Kisah Ganjil Pelaut dan Keturunannya yang ditulis Pakdhe mengekplorasi peristiwa-peristiwa ganjil itu dengan sangat akurat. Seolah-olah tidak ada beda antara fiksi dengan fakta.
Di lain hal, mas Burhan juga sempat menyinggung tentang ramalan. Ia katakan, bahwa novela karya Pakdhe bukan sekadar karya fiksi. Akan tetapi, semacam ramalan. Sebab, jauh sebelum peristiwa tenggelamnya Desa Simonet, novela itu sudah menyampaikan perihal itu. Terbesit pula dalam benak mas Burhan, bahwa seorang sastrawan mungkin saja juga seorang peramal.
Menanggapi pernyataan sekaligus pertanyaan mas Burhan, saya katakan, bahwa cerita fiksi memiliki dimensinya sendiri. Ia memang cerita rekaan sang pengarang. Akan tetapi, mesti dipahami pula maksud dari istilah rekaan itu sendiri.
Cerita rekaan tidak melulu karang-karangan alias sesuatu yang dikarang-karang. Sebaliknya, sebuah cerita rekaan tidak terlahir dari ruang kosong. Artinya, sekalipun itu rekaan, pasti ia bertolak dari fakta-fakta yang tersebar di alam raya.
Sang pengarang lantas memungut fakta-fakta itu sebagai bahan yang kelak akan memperkaya cerita. Fakta-fakta itu digunakan sebagai ide dasar dalam proses kreatifnya. Lantas, diolah sedemikian rupa sehingga cerita yang disusun lewat jahitan-jahitan fakta itu terkesan hidup. Punya daya pikat sekaligus daya imajinasi yang mampu menggugah kesadaran imaji pembaca.
Tentu, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara sang pengarang menghidupkan cerita? Tidak lain adalah melalui ketajaman intuisinya dalam mempergunakan bahasa. Memainkan diksi, metafora, dan beragam perangkat kebahasaan lainnya. Termasuk, menghadirkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita yang seolah-olah hidup.