Meski begitu, perlu dipahami pula, bahwa bahasa yang digunakan sang pengarang pada dasarnya adalah bahasa keseharian. Bahasa yang kerap diujarkan dan didengar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Hanya, di dalam proses kreatif kepengarangan, sang pengarang mesti menggunakannya dengan tepat. Mengintensifkan bahasa-bahasa itu sebagai sarana penyampai pesan yang efektif.
Jadi, sebuah karya sastra tidak sekadar sibuk memoles bahasa dan peristiwa sebagai keindahan. Akan tetapi, juga menekankan pada aspek urgensi atas sebuah kejadian. Sehingga, seorang pengarang mesti pula menentukan topik yang memang dirasa sangat penting untuk disuarakan, untuk disampaikan kepada khalayak.
Hal ini pula yang pada gilirannya membuat karya sastra dipandang penting untuk dibaca. Bahkan, disinggung pula dalam teori sosiologi sastra, bahwa karya sastra sebenarnya adalah dokumen budaya. Apa yang dikemukakan di dalam karya sastra pada hakikatnya adalah kehidupan yang berlaku di masyarakat.
Sang pengarang, dalam hal ini, mencoba menyampaikan pandangannya mengenai kehidupan yang berlaku di masyarakat. Tentu, tidak lepas pula dari sudut pandang sang pengarang. Maka, yang dikemukakan novela Kisah Ganjil Pelaut dan Keturunannya itu adalah pandangan subjektif pengarangnya atas peristiwa yang berlaku di Simonet.
Subjektivitas sang pengarang lahir dari kebiasaannya membaca gejala yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tak mengherankan jika dalam keseharian, sang pengarang sebenarnya senantiasa merasakan gelisah atas apa-apa yang terjadi di depan mata. Akan tetapi, kerap sang pengarang menunda untuk mengungkapkan kegelisahan itu. Malahan, ia akan menghimpun terlebih dahulu segala sesuatu yang berkaitan dengan apa yang menjadi perhatiannya.
Ia akan menyelami terlebih dahulu apa-apa yang diamatinya. Menghayati setiap peristiwa sebagai sesuatu yang bermakna. Lalu, pada puncaknya, ia akan menuliskan kegelisahan itu sebagai cara mengungkapkan kegelisahannya.
Maka, tidaklah luput jika karya sastra sebenarnya juga merupakan tulisan-tulisan yang kritis atas persoalan zaman. Seperti diungkapkan novela Kisah Ganjil Pelaut dan Keturunannya karya Dewanto Amin Sadono, yang menyoalkan bagaimana perilaku dan cara pandang masyarakat dari zaman yang berbeda tentang kondisi alam, khususnya di kawasan pesisir utara Pekalongan.
Dulu, orang sekadar memahami bahwa terkikisnya wilayah pantai yang melahap area perkebunan melati maupun persawahan adalah wujud kutukan dari Dewi Lanjar, penguasa laut utara Jawa. Maka, orang-orang mendekati masalah tersebut dengan cara pandang yang serba mistik. Mencari dukun yang sekiranya mampu mengendalikan masalah. Atau pula menemui langsung sang ratu laut utara dengan memasuki istana gaibnya.
Tetapi, cara itu terbukti tak mampu mengatasi masalah. Malahan, kondisi pantai makin parah. Lahan-lahan tambak tergerus, sampai Desa Simonet pun hilang, hingga ratusan rumah warga pun tak terselamatkan. Maka, gagasan yang juga menarik diungkap novela ini adalah ketika permasalahan tersebut dibawa ke ranah religi. Dalam hal ini, permasalahan Simonet lantas diadukan kepada seorang kiai.
Tidak lain, karena ada semacam keyakinan dalam diri tokoh utama novela tersebut, bahwa agama memberikan solusi atas segala persoalan di dunia. Pandangan itu tidak dipersalahkan dalam novela tersebut. Akan tetapi, yang agaknya masih menimbulkan PR besar bagi tafsir-tafsir agama adalah menemukan cara yang konkret. Sebab, sebagaimana dicatat dalam novela tersebut, doa saja tidaklah cukup.
Pemikiran tentang agama, lewat novela Kisah Ganjil Pelaut dan Keturunannya, dipandang perlu pula diintensifkan. Artinya, perlu upaya untuk melahirkan tafsir-tafsir agama yang secara konkret dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan lingkungan. Tafsir-tafsir agama mesti berpijak pada kondisi riil, sehingga dapat melahirkan dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan menyokong bagi perkembangan teknologi.