Sebuah obrolan kecil terjadi di antara saya dan teman-teman Omah Sinau Sogan dengan seorang tamu dari Jakarta. Tamu spesial, tentunya. Ia adalah seorang penulis, novelis, sekaligus seorang aktivis sosial.
Lazimnya sebuah pertemuan, obrolan diawali dengan basa-basi sekadar saling menunjukkan rasa hormat satu sama lain. Lalu, berangsur makin serius. Menjurus pada problematika sosial dan politik.Â
Sudah tentu, kami yang ada di daerah penasaran bagaimana kondisi Jakarta saat helat politik pemilu 2019 yang lalu. Terlebih, berita-berita di berbagai media memampang beragam peristiwa yang menurut kami menjenuhkan.Â
Tamu kami pun tak keberatan menceritakan semuanya. Begitu runtut, urut. Dimulai dari peristiwa 98 sampai akhirnya pada situasi yang terkini. Kami menyimak dengan saksama.Â
Satu per satu dari kami secara bergantian turut menanggapi, bertanya dan kadang mempertanyakan. Tamu kami asyik saja berkisah. Menjawab dan juga menerima kritik dan saran.
Sampai pada titik jenuh, obrolan kemudian berubah arah. Ini pula yang kemudian menjadi permulaan dari sebuah obrolan ringan yang menggemaskan.Â
Tamu kami yang anak Jaksel itu mendadak berkata, "Jujur, gue sebagai anak Ibukota kagum loh sama kalian. Mau-maunya melakukan kerja sosial tanpa dibayar dan tanpa ada satupun yang mendanai. Kalau di Jakarta, kalian mungkin bakal nggak dipercaya. Kenapa? Karena anak-anak Jakarta, biarpun mereka gerak di ranah sosial biasanya ada bekingnya. Ada foundingnya. Makanya, gue salut sama kalian. Respek banget dah!"
"Nah, sekarang Abang tahu kan? So, bisa dong kami minta tolong Abang. Bilang ke teman-teman Abang yang pada jadi pejabat itu supaya mau nengok ke daerah. Nengok anak-anak seperti kami. Supaya tahu, kalau di daerah tuh banyak komunitas yang mau bergerak dengan 100% suka rela, Bang!" celatuk salah satu dari kami.
Tamu kami mikir sebentar. Lalu, dia balas, "Oke. Akan gue usahain. Gue akan bilang ke mereka. Kebetulan teman-teman gue ada banyak yang jadi DPR di Senayan."
'Nah, gitu dong!" seloroh yang lain.
"By the way, ada satu yang bikin gue kagum lagi di sini," kata tamu kami.
"Apa, Bang?"
"Sejak gue tiba di sini, gue lihat kalian dan juga umumnya orang daerah di sini kok pada apal banget ya tentang arah mata angin? Kayak kalian, gue lihat ngerti banget mana utara, selatan, timur, maupun barat. Emang, di Jawa diajarin ya soal itu?" tanya tamu kami.
"Emang di Jakarta gimana, Bang?"
"Itu dia! Gue baru mau cerita. Gue yang asli anak Jakarta, jujur sering bingung menentukan arah mata angin. Makanya, biar lebih mudah, gue cuma gunain dua kata. Kiri sama kanan. Itu doang!" jelasnya.
"Ya samalah. Di sini juga banyak yang gunain istilah itu," balas salah seorang dari kami.
"Nggak. Di sini beda. Meski istilah kiri dan kanan dipakai, tapi dalam obrolan keseharian orang-orang sini, termasuk kalian, gue lihat masih sering gunain istilah-istilah arah mata angin. Sementara gue, yang gue lihat dari sirkel pertemanan gue di Ibukota, istilah-istilah itu bisa dibilang sudah punah. Cuma tinggal kiri sama kanan doang! Ini ngeri buat gue. Karena, bisa jadi kalau dibiarin berlarut-larut banyak orang yang bakal disorientasi arah," terang tamu kami itu berapi-api.
Kami masih menyimak. Tak banyak bicara. Sembari menunggu ia selesai.
"Emang, kalau boleh nanya, cara yang kalian gunakan apa supaya bisa tahu arah mata angin?" tanyanya.
"Bang, kan ada matahari. Ada bulan juga. Itu bisa jadi penunjuk arah mata angin, Bang," kata salah seorang lagi dari kami.
"Oh gitu? Terus kalau pas keduanya nggak kelihatan?"
"Ada bintang."
"Wuih! Kalian diajari juga soal ilmu bintang? Keren nih!" seloroh tamu kami. "Tapi kalau bintangnya juga ikutan nggak nampak gimana?"
"Kan ada penanda lainnya, Bang. Misal, gedung, masjid, rel kereta, pantai, dan lain-lainnya."
Tamu kami sejenak terbengong. Ia berusaha mencerna penjelasan salah seorang dari kami. Lalu, "Oh iya ya... kalau masjid sudah pasti ngadepnya ke barat ya.... Tapi kalau nggak nemu masjid gimana?"
"Abang kok mikirnya ribet banget sih?"
"Iya, gue penasaran soalnya.... Jadi, gue mesti tahu sampai ke akar-akarnya."
"Bang, Bang. Kenapa sih kudu ke akar-akarnya segala? Ini kan masalah sepele. Nggak harus pakai teori dan metode yang rumit, Bang. Sama seperti ketika Abang bilang kiri atau kanan. Cukup gunain badan dan pandangan mata kita aja kan?" balas salah seorang kawan satu komunitas.
"Iya juga ya? Ah, kenapa sih gue jadi segini tololnya? Jadi aneh di depan kalian?"
"Ya mungkin juga karena Abang terlalu mencintai kota asal Abang. Sampai lupa kalau segala sesuatu bisa dirumuskan dengan cara-cara yang sangat sederhana. Seperti kita bernapas. Nggak ada yang ngajarin kan? Tetapi kenapa seorang bayi yang baru lahir bisa bernapas? Sayang, semakin kita tua kadang kala kita jadi lupa bahwa kesederhanaan itu lebih diperlukan ketimbang yang rumit. Dan, sorry nih, Bang. Aku kudu bilang, jangan-jangan kerumitan yang Abang alami juga representasi kerumitan Ibukota ya, Bang?" tanya saya kepada tamu kehormatan itu.
"Kok Kang Ribut bisa bilang gitu? Apa alasannya?"Â
"Nah, Abang sendiri yang orang Ibukota, kenapa mesti tanya alasan? Kan Abang yang ngalamin?" balas saya.
"Iya ya. Tapi, gimana pun kan gue perlu pembuktian dari Kang Ribut," masih saja tamu saya ngeyel.
"Buktinya kan Abang sendiri, Bang. Bukan yang lain," jawab saya.
"Ah! Sumpah kalah gue. Oke, gue akui deh!"
"Dan, perlu diketahui, bisa jadi kebiasaan orang yang hanya menggunakan dua istilah, kiri dan kanan, juga terpengaruhi oleh cara pandang kebanyakan orang yang terlampau hitam putih. So, kalau itu bener, fix dah saya nggak ragu-ragu, bahwa hilangnya atau punahnya kemampuan dalam mengenali arah mata angin itu bisa juga karena terimbas struktur kehidupan sosial yang terlampau terpolarisasi ke dalam kelompok-kelompok. Makanya, cuma kenalnya sama kiri dan kanan."
Seketika itu tawa kami mendadak pecah.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI