Obrolan kopi angkringan itu masih membekas di kolong ingatan. Meski obrolan itu terentang benang masa yang cukup panjang. Tepatnya, saat kartu mahasiswa masih menyelip di slot dompet kulit. Sekarang, kartu itu tak saya temukan lagi di sana.
Di angkringan, saya dan kawan komunitas kerap membincangkan hal-hal yang absurd. Terutama, ketika menyoal ide-ide gila untuk membuat agenda atau menciptakan sebuah karya. Entah itu seni pertunjukan, film, tulisan, atau kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang.
Kami selalu mengawali obrolan itu dengan mengangkat isu yang sedang ramai atau membahas pemikiran tokoh-tokoh tertentu. Makin lama obrolan itu berlangsung kami bisa sampai mencapai klimaks yang intens. Di saat bersamaan, tidak jarang di antara kami lantas mengusulkan gagasan untuk melakukan sesuatu.
Hampir setiap malam kami begitu. Ngobrol di angkringan seakan-akan bukan lagi kebiasaan, melainkan sudah menjadi kebutuhan. Maklum, kami sama-sama mahasiswa rantau. Kampus kami juga agak jauh dari sentuhan gemerlap peradaban kota. Lagi pula jatah uang saku bulanan kami rata-rata hanya cukup buat memenuhi kebutuhan dasar.
Kami tak cukup mampu membeli hiburan mahal. Tak juga mampu memborong kehidupan yang penuh foya-foya. Satu-satunya cara, kami berupaya menciptakan sesuatu yang sedikit memberi hiburan. Minimal, bagi kami.
Sebagai upaya serius untuk mewujudkan impian-impian itu, selain kuliah, rata-rata kami juga ikut bekerja. Kerja serabutan. Apa saja yang kami bisa, kami kerjakan.
Ada yang bekerja di usaha fotokopi. Ada juga yang ikut nguli di pasar kalau pagi. Juga ada yang kerja jaga warung internet atau rental komputer. Bahkan, ada juga yang bekerja sebagai tukang kebersihan di toko. Saya sendiri, kerja di salah satu studio milik seorang dosen, Pak Yusro. Apa pun itu, yang penting tidak mencuri atau main palak.
Walau begitu, kami tak merasa pekerjaan itu sebagai beban. Malahan, pekerjaan itu pula yang pada gilirannya menjadi penyokong kehidupan kami di tanah rantau. Kami punya uang tambahan.
Uang keringat itu sebagian kami sisakan untuk kas komunitas. Kami iuran. Tujuannya, sebagai pendanaan untuk berbagai keperluan komunitas. Khususnya, untuk menghidupi komunitas.
Memang, kala itu kami punya prinsip yang dijunjung tinggi-tinggi. Yaitu, kami tak ingin "mengemis". Bahkan, kepada kampus tempat kami kuliah.