Kuliah, bagi sebagian anak muda, barangkali menjadi sesuatu yang diimpikan. Minimal, untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Apalagi di era sekarang, gelar akademik agaknya memiliki pretise, selain menjadi kebutuhan saat akan melamar pekerjaan.
Padahal, tidak sedikit jenis pekerjaan yang tak memerlukan ijazah. Hanya, agaknya jenis-jenis pekerjaan tanpa ijazah itu kurang diminati anak-anak muda yang merasa memiliki cara berpikir "maju". Mungkin dipandang kurang punya gengsi.
Akan tetapi, apakah ada korelasi langsung antara pendidikan dan peluang mendapatkan pekerjaan? Pertanyaan ini agaknya masih menuai perdebatan. Terutama, kalangan pengajar di kampus-kampus.
Sebagian, meyakini pendidikan berkorelasi langsung dengan peluang kerja. Sementara lainnya, menilai korelasi antara pendidikan dan peluang kerja tidak begitu saja terjadi. Yang meyakini, menjadikan pendidikan sebagai jalur utama untuk mendapatkan peluang kerja. Maka, mereka mengejar prestasi di dunia akademik dan hal-hal yang berkaitan dengan dunia perkampusan. Berkompetisi untuk menunjukkan diri sebagai sosok yang dipandang layak.
Yang merasa tidak cukup yakin, menilai bahwa fungsi pendidikan bukan untuk mencetak tukang. Akan tetapi, pendidikan adalah wahana untuk membangun karakter orang-orang terdidik. Sehingga, saat mendapatkan pekerjaan, ia tahu dan dapat menjalankan perannya secara maksimal. Tidak hanya untuk mengejar karir, melainkan pula punya tanggung jawab moral dan etika terhadap lingkungan sekitar.
Demikian, perdebatan itu terus bergulir. Meski faktanya, perdebatan itu kerap dipangkas oleh bahasa-bahasa iklan sejumlah kampus yang terkesan membius masyarakat. Mereka mencitrakan diri sebagai pencetak lulusan yang siap kerja di berbagai bidang. Ada pula yang sampai menayangkan citra lulusannya yang bekerja di perusahaan bonafit, menjadi ASN, maupun bekerja di BUMN. Malahan, ada juga yang menampilkan besaran gaji dari lulusan yang telah bekerja di berbagai tempat itu. Walau begitu, ada pula yang menampilkan citra lulusannya sebagai seorang pengusaha sukses yang kaya raya.
Citra-citra ini pula yang akhirnya menggiring pikiran masyarakat menjadi praktis bahkan pragmatis. Berharap, ketika menyekolahkan anak-anak mereka ke kampus-kampus itu akan menjadi seorang sarjana dengan pekerjaan yang jelas. Sekurang-kurangnya, mendapatkan jaminan, bahwa anaknya akan diterima di perusahaan bonafit atau menjadi abdi negara.
Bius iklan itu agaknya cukup efektif. Tak sedikit orang tua yang terbuai. Mereka susah payah menyekolahkan anak-anak mereka dengan harapan yang demikian praktis. Lupa, bahwa hakikat pendidikan bukan sekadar menyerahkan anak ke kampus agar nasibnya menjadi lebih baik di kemudian hari.
Tidak. Bukan demikian, seharusnya. Kampus bukan semacam lembaga perbaikan nasib. Kampus tidak lebih sebagai wahana untuk membangun diri. Menggali potensi, mengenali diri, lalu memberikan nilai tambah pada potensi diri itu dengan pengetahuan dan ajaran-ajaran moral dan etika, sehingga saat ia lepas dari kampus dapat menjalankan perannya sebagai manusia yang utuh. Perbaikan nasib, hanya bagian kecil dari perjalanan memerani sebagai manusia yang utuh.
Dan, pada malam ini, seorang bapak mendadak menelepon saya. Menuturkan keluh kesahnya. Bahwa, di saat anaknya diterima di sebuah perguruan tinggi negeri, rupanya saat itu ia baru menyadari kalau kondisi usahanya sedang ambruk.
Uang yang mesti ia siapkan untuk membayar semua keperluan anaknya tak cukup tersedia. Belum lagi, ongkos untuk menopang keseharian anaknya. Sebab, sang anak belum terbiasa hidup mandiri, terpisah dari orang tua. Kalau pun dipaksa mengendarai sepeda motor sendiri, sang anak masih punya trauma akibat kecelakaan. Sementara, jalanan yang harus dilalui cukup berisiko.