Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... pengembara kata

Penyiar radio yang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Optimalisasi Peran Media Massa Lokal sebagai Pemroduksi Bahasa

28 Agustus 2025   15:53 Diperbarui: 28 Agustus 2025   16:18 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Media massa (dok. pribadi)

Tak hanya itu, Wahab juga mengungkapkan fakta lain. Manakala ekologi sosial dan ekologi bahasa Indonesia mengalami degradasi, minat akademisi dari sejumlah negara manca pun ikut terpengaruh. Wahab juga menunjukkan bagaimana salah seorang akademisi asal Amerika yang merupakan koleganya merespons fenomena distorsi bahasa Indonesia yang diakibatkan terdegradasinya ekologi sosial. Baginya, hal itu sungguh disayangkan dan mengancam eksistensi pembelajaran bahasa Indonesia di negara-negara manca.

Menariknya, suasana gelisah yang ditekankan Wahab dalam tulisannya itu muncul dari penggunaan bahasa di media. Khususnya, media massa. Ia mencermati betapa bahasa Indonesia di media massa digunakan secara serampangan. Bahkan, cenderung menghadirkan suasana yang membuat bulu roma berdiri. Mengerikan dan cekam. Hal ini dinilai menghambat pertumbuhan khazanah bahasa Indonesia.

Memang, tidak dapat dimungkiri fenomena tersebut mengemuka di tengah semangat perayaan postmodernisme yang mengusung budaya populer dalam tatanan masyarakat konsumer. Tak heran, jika sensasi menjadi acuan di dalam menyusun dan menyajikan informasi. Begitu pula dalam penggunaan bahasa, utamanya di media massa. Produksi bahasa media tumbuh sebagai ladang semai bagi sensasi.

Perayaan sensasi ini menemukan bentuknya yang lebih sempurna manakala perkembangan teknologi---khususnya teknologi informatika dan komunikasi---mengalami percepatan berkali-kali lipat. Kemunculan media sosial yang mula-mula dirayakan sebagai berkah, justru melahirkan kebiasaan baru yang "anomali". Semula, sebagian orang berpandangan bahwa kemunculan media sosial menjadi ruang publik yang memungkinkan bagi kebebasan berpendapat. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, media sosial justru diisi oleh pernyataan-pernyataan yang meracau.

Parahnya, posisi media massa pun tergeser olehnya. Meski secara formal kedudukan media massa tidak sepenuhnya diambil alih oleh media sosial, faktanya media massa kehilangan daya. Pertumbuhan media sosial yang pesat diam-diam telah menyerobot peran media massa sebagai pemroduksi dan penyebar informasi. Para pengguna media baru ini bebas saja memproduksi dan menyebarkan informasi.

Tentu, kaidah-kaidah jurnalistik maupun bahasa tak cukup dihiraukan. Lalu, media massa---terutama media massa di daerah---terpaksa mengikuti arus deras media sosial. Ada yang melakukan adaptasi, ada pula yang dengan terang-terang mengadopsi media sosial.

Dampak peralihan ini mungkin sekali akan merembes ke dalam produksi bahasa. Sementara, penguasaan masyarakat terhadap literasi belum sepenuhnya optimal. Di tiap-tiap daerah penguasaan literasi masyarakat tidak sama. Bahkan, cenderung menunjukkan kesenjangan yang terlalu lebar. Bahasa di media sosial hampir-hampir tidak difungsikan secara optimal sebagai bagian dari cara pandang maupun sebagai kepanjangan dari pikiran. Akan tetapi, bahasa justru dimanfaatkan sekadar sebagai alat untuk meluapkan emosi. Parahnya, luapan-luapan itu terlontar begitu saja, tanpa rasa tanggung jawab.

Lepas dari itu, saya pikir, membuncahnya persoalan ini perlu dipandang sebagai tantangan. Terutama, bagi media-media massa lokal untuk tampil ke permukaan. Memberikan pembelajaran tentang bagaimana bahasa mesti digunakan dan dikembangkan sebagai sarana berpikir. Saya yakin, media-media massa lokal masih memiliki energi yang cukup besar untuk mengambil peluang ini sebagai proyek pengetahuan.

Salah satu yang memungkinkan untuk diharapkan adalah kontribusi media-media lokal bagi pengembangan bahasa Indonesia sebagai sarana pengetahuan melalui penggunaan bahasa-bahasa daerah yang kemudian dapat diterima sebagai kosakata baru dalam bahasa Indonesia. Dengan cara itu, media lokal dapat tampil sebagai wahana untuk menggali khazanah pengetahuan yang dimiliki daerah. Dampaknya, masyarakat juga akan merasakan nilai lebih kehadiran media-media lokal tersebut.

Khusus Kota Pekalongan, peluang tersebut sebenarnya terbuka lebar. Kota ini memiliki kekayaan budaya yang diakui dunia, batik. Bahkan, UNESCO menobatkan kota ini sebagai bagian dari jejaring kota kreatif, Kota Kerajinan dan Seni Rakyat.

Di dalamnya, terdapat pula kekayaan pengetahuan yang perlu digali lebih dalam, melibatkan berbagai elemen yang saling terkait. Dengan begitu, batik tak hanya dipandang sebagai benda seni atau bahkan sebagai barang dagangan. Akan tetapi, ia akan menjadi bagian dari ilmu pengetahuan dalam tatanan dunia modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun