Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pelajar Kita di Mata Google

20 April 2023   03:53 Diperbarui: 21 April 2023   09:10 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Ketika para pelajar kita bergembira dalam pawai di kampung mereka (sumber: dok.pribadi)

Sore itu, Sabtu, 15 Februari 2020, di gedung Sositet Jatayu kota Pekalongan, Mas Saeful Uyun mengajak kami yang duduk melingkar untuk memasuki dunia kecil, bernama dunia google. Lewat search engine itu, Mas Uyun menunjukkan kepada kami pada sebuah permainan simulasi kecil. Awalnya, ia hanya menyuruh kami mengetikkan kata "siswi smp" pada mesin pencarian itu.

Dengan senang hati kami menuruti. Kami tak punya kecurigaan apa-apa atas permintaan Mas Uyun. Tetapi, begitu muncul beberapa judul tulisan tentang siswi SMP, diselingi penjelasan ringkas Mas Uyun, kami mulai berpikir. Apalagi, ketika Mas Uyun mengajukan pertanyaan, "Mengapa yang muncul judulnya gitu-gitu?"

Seketika, kami geleng-geleng kepala. Sementara, pada halaman pertama mesin pencarian itu terpampang judul-judul tulisan yang kalau dibaca membuat mual dan ingin muntah-muntah. Napas pun terasa sesak. Sesekali ingin pula mengumpat. Tapi, karena ada beberapa orang yang belum cukup umur, umpatan itu pun kutahan. Meski tak dipungkiri, ada juga yang tampak geli-geli malu gitu, ketika membaca judul-judul itu.

Pada halaman pertama, termuat berita-berita yang nggegirisi. Miris. Berita tentang penganiayaan, perundungan, penyiksaan, bahkan pencabulan. Gila! Apa separah itu?! Apakah tidak ada berita yang lebih mencerahkan dan membuat senyum mengembang? Oh Tuhan....

Hal yang sama juga terdapat pada halaman kedua dan halaman-halaman berikutnya. Alamak! Ini lebih gila lagi! Saya makin tak kuat melihat dan membaca judul-judul itu.

Melihat reaksiku yang demikian gelisah, Mas Uyun memintaku untuk tenang sejenak. Menurutnya, ada banyak judul tulisan yang lebih gila lagi dari yang tadi. Lantas, ia meminta kami untuk mengetikkan kata "siswi sma".

Tanpa menunggu lama, kami yang duduk melingkar kembali mengetikkan kata yang diminta itu. Tak berselang lama, muncul beragam judul tulisan yang jauh lebih tragis. Makin sesaklah dadaku. Aku tak kuasa menahan perasaan. Seperti dipukul-pukul dadaku ini rasanya.

Kusaksikan pada halaman pertama, pada barisan pertama, muncul judul berita tentang perkosaan. Oh! Apa lagi ini?! Lalu, jariku menggesek dan menggeser ke judul-judul tulisan berikutnya. Tapi, tak kutemukan judul tulisan yang benar-benar membuatku lega. Justru makin sesak dan sulit menahan perasaan gelisahku.

Yang muncul, tulisan-tulisan dengan judul seputar pencabulan, pemukulan, mabuk-mabukan, narkoba, dan sebagainya. Oh alangkah ngerinya negeri ini. Apakah sudah serusak ini?

Artinya, betapa hari ini, berita-berita tentang pelajar dan keterpelajaran seolah-olah tidak ada sama sekali. Yang selalu muncul, entah itu kerap diunggah atau yang sering dilihat dan dibaca oleh pengguna layanan internet, adalah berita-berita yang membuat mual. Menusuk ulu hati.

Sementara kemana berita-berita tentang prestasi para pelajar kita? Nyaris hilang di halaman-halaman pertama pada mesin pencarian itu. Ditelan oleh kabar-kabar tak sedap yang membuahkan kekhawatiran dan kecemasan bagi para orang tua. Melahirkan keprihatinan yang amat mendalam. Apakah seperti ini gambaran keterpelajaran negeri ini?

Mestinya tidak. Aku yakin, tidak sedikit dari para kaum terpelajar negeri ini yang memiliki prestasi. Selain menjuarai berbagai lomba, ada lomba matematika, sains, seni, dan sebagainya dari tingkat lokal sampai tingkat dunia, pelajar-pelajar kita juga punya segudang prestasi lainnya. Terutama dalam soal perilaku hidup sehari-hari. 

Ada yang besekolah sambil bekerja karena ingin meringankan beban orang tua mereka. Ada juga yang mau melakukan aksi-aksi sosial. Mereka mau bergotong royong, bersih-bersih sungai, bersih-bersih kampung, sampai ikut bersih-bersih tempat ibadah. Tetapi, mana berita itu? Kenapa tak muncul di halaman pertama?

Mereka juga tak jarang yang menggelar aksi kepedulian. Mengajak orang-orang untuk ikut peduli dengan keadaan. Mengumpulkan dana untuk amal. Tetapi, kemana berita itu lari? Apakah ditelan derasnya arus informasi yang menjadi banjir itu? Ataukah tersapu angin badai yang selama ini kerap membayang-bayangi masa depan bangsa ini?

Dan, apa pula sebabnya? Mungkinkah masih berlaku jargon permediaan kita hari ini, bahwa "bad news is a good news"? Ataukah masih berlaku jargon pemberitaan yang sekadar cari sensasi dan bombastis demi mendapatkan keuntungan dari konsumsi berita-berita yang demikian? Atau memang sudah serusak itu pelajar kita? Ah... rasa-rasanya tidak. Kasus-kasus kenakalan itu hanya berapa persen. Tidak bersifat menyeluruh.

Berita-berita buruk itu ditulis mungkin saja karena keterbatasan sang juru warta. Apalagi wartawan juga seorang manusia. Ia tidak bisa menyaksikan keseluruhan isi dunia ini. Bisa jadi, ia hanya menuruti apa yang kira-kira akan jadi ramai diberitakan. Menjadi viral!

Bisa jadi, berita-berita buruk itu ditulis karena ada maksud dan tujuan tertentu. Mungkin, tujuan dan maksudnya baik, mengabarkan hal buruk, agar hal yang sama tidak terulang. Ya, ini sih baik sangkanya, kalau nggak mau dibilang sebagai apologi.

Mungkin juga karena menganggap hal-hal yang baik itu terlalu normatif. Tidak menarik untuk diberitakan. Padahal, belum tentu. Tidak semua hal yang baik itu sifatnya datar-datar saja. Bahkan, sangat mungkin hal-hal baik itu menjadi berita terkesan luar biasa. Tentu, itu sangat bergantung dari cara si pewarta menuliskannya.

Sebab lainnya, bisa saja datang dari para pembaca berita itu sendiri, termasuk saya. Apalagi pengurutan judul tulisan pada google itu sangat dipengaruhi oleh seberapa sering tulisan itu dibaca. Tapi, apakah ini bisa dikatakan sebagai kebiasaan aneh? Ketika mereka membaca hal-hal yang baik, mereka merasa bosan. 

Seolah-olah mereka sedang berhadapan dengan seorang penceramah yang terlalu teoretis. Mungkinkah pula, ini disebabkan oleh sikap iri, karena mereka tidak memiliki kesempatan yang sama dengan orang yang berprestasi itu? Atau, karena ia memang sudah bawaan lahir, terbiasa mengunyah kabar-kabar buruk, menggosip. Sehingga, ia lebih suka dengan kabar-kabar buruk.

Akibatnya, mudah bagi siapa saja untuk memandang rendah dan melecehkan kaum terpelajar kita ini. Padahal, di pundak mereka, kaum terpelajar, masa depan bangsa ini akan dibangun. Mereka mestinya diberi kesempatan dan peluang untuk membuktikan, bahwa mereka mampu menjalankan amanat masa depan bangsa. Mewujudkan apa yang menjadi cita-cita mulia bangsa ini.

Lantas, sebagai pembanding, Kang Saeful meminta kami mengetikkan kata "high school student" pada kotak mesin pencarian tadi. Apa yang terjadi?

Nyaris tak kami temukan berita-berita miring. Dengan tampilan foto-foto yang terpampang di halaman mesin pencarian itu, tampak kesan bahwa kaum terpelajar di negara-negara barat sana begitu menyenangkan. Foto-foto aktivitas belajar, keakraban di antara mereka, kedekatan mereka dengan guru mereka, dan banyak lagi foto-foto yang menampilkan citra positif dunia pelajar di sana.

Menyaksikan kenyataan itu, lantas terpikir olehku, rupanya berat nian tugas Mas Menteri Nadim Makarim. Ia sepertinya perlu juga bekerja sama dengan Menkominfo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun