Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pekalongan Membatik Dunia

28 September 2021   14:45 Diperbarui: 30 September 2021   02:49 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: bahankain.com

Rakyat Pekalongan bisa jadi sangat berhutang pada batik. Karena dari batik lapangan kerja tercipta. Kesempatan untuk berusaha pun menjadi terbuka lebar, sehingga roda ekonomi dapat diputar dan digerakkan.

Pada masa krisis moneter yang sempat melanda negeri ini, kira-kira pada era akhir 90-an, Pekalongan justru tenang-tenang saja. Tidak ikut kacau. Tidak terpapar oleh radiasi krisis yang menggurita di sejumlah kota besar di negeri ini.

Malah ketika itu berbagai macam kendaraan keluaran baru muncul dan berseliweran di jalan-jalan kota. Sebuah pemandangan yang anomali. Aneh sekaligus menandakan keunikan.

Di masa pandemi, bisnis online batik sekalipun sempat surut, tetapi juga sempat pula ramai. Sempat pula merajai. Terutama pada komoditas daster.

Peristiwa itu, bagi saya, seperti sebuah penegasan bahwa Pekalongan yang hanya sebuah kota kecil di kawasan Pantura Jawa Tengah mampu bertahan dari gempuran krisis. Mampu berdiri sebagai kekuatan ekonomi yang sulit dirobohkan oleh kekuatan-kekuatan asing. Begitu istimewanya.

Ah! Betapa Pekalongan itu seksi! Nggemesi! Bikin iri! Dan penuh kejutan-kejutan. Di saat yang lain tengah terpuruk, ia masih bisa berlarian ke sana-kemari. Bermain-main dengan berbagai macam mainannya.


Mungkin pula ini sebuah tanda, bahwa Pekalongan adalah tanah negeri yang penuh berkah. Dari sisi letak geografis, kawasan ini menempati titik tengah pesisir utara pulau Jawa. Yang artinya, menjadi titik temu yang menghubungkan kota-kota di sepanjang jalur utara pulau Jawa.

Wajarlah jika kawasan ini pada masa-masa lalu menjadi kawasan yang diperebutkan. Bahkan seorang tuan tanah dari daratan Eropa yang selanjutnya dikenal dengan nama Baron Skeber pernah berusaha menguasai kawasan ini. 

Tetapi, usaha itu digagalkan oleh sosok hero, Ki Ageng Penatas Angin, atas perintah Panembahan Senopati, Raja pertama Mataram Islam. Kala itu, Panembahan Senopati tidak merelakan kawasan ini dikuasai oleh kekuatan asing, sebab ia tahu bahwa tabiat orang Eropa kala itu cenderung merusak tatanan sosial, tatanan budaya, dan tentunya tatanan norma.

Kendati demikian, motif apa sebenarnya yang mendorong Panembahan Senopati begitu keras berpendirian agar Pekalongan dipertahankan? Tidak lain, karena Pekalongan merupakan kawasan kunci bagi penguasaan Pulau Jawa. Sekali kawasan ini dikuasai, maka kesempatan untuk menguasai Pulau Jawa pun menjadi sangat terbuka lebar.

Selain itu, seperti yang pernah disebutkan mendiang Gus Dur (Presiden ke 4 Republik Indonesia), Pekalongan di abad ke 6 sudah menjadi kawasan yang sangat populer di seantero dunia. 

Keberadaan pelabuhan besar yang selalu dipenuhi armada kapal dagang dari berbagai negara menjadikan Pekalongan dianggap sebagai kawasan yang sangat vital bagi perdagangan dunia. 

Demikian pula diakui Wang Dahai, seorang sarjana kebangsaan Tiongkok abad ke 18, bahwa Pekalongan menjadi kawasan yang sangat menyenangkan. Untuk itu pula, ia memilih tinggal di Pekalongan lebih lama dibandingkan di Semarang atau Jakarta (Batavia).

Sementara bagi Anton E. Lucas, Pekalongan merupakan kawasan semai bagi tumbuh kembangnya organisasi-organisasi pergerakan dan organisasi masyarakat. Nyaris semua organisasi maupun partai politik tumbuh subur di sini. 

Ya, boleh diibaratkan bahwa Pekalongan merupakan laboratorium bagi pembiakan organisasi maupun partai-partai politik. Bahkan dua ormas terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah, justru mampu bertumbuh dengan baik di kawasan ini. Konon pula, kawasan ini merupakan tempat bertemunya para auliya, ulama-ulama besar, maupun para wali tanah Jawa.

Tak heran pula jika kota kecil ini mampu melahirkan tokoh-tokoh nasional. Sebut saja, Taufik Ismail, Ebit G. Ade, W.S. Rendra, Ridaka, Gunawan Mohamad, Ali Moertopo, Pak Hoegeng, Ali Said, dan sejumlah nama lainnya. Mereka ditempa di sini, hingga benar-benar menjadi besar dan membesarkan bangsa ini.

Sungguh, betapa besar sedekah rakyat Pekalongan kepada Indonesia. Bahkan, melalui batik, rakyat Pekalongan mampu menyedekahkan segenap jiwa, raga, tenaga, dan pikirannya untuk Indonesia. Setidaknya tercatat dalam sejarah, tiga peristiwa penting yang mampu mengungkap sedekah rakyat negeri batik ini untuk Indonesia.

Peristiwa pertama, seperti yang dituturkan Kang Dirham, terjadi di era orde lama. Kala itu, sejumlah pengusaha batik yang membangun koperasi batik (GKBI) menemui Soekarno dan mendorong pemerintah agar membuat kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat. 

Pemerintah didesak agar memberi keleluasaan bagi pengusaha lokal untuk bisa menentukan harga pasar bahan baku batik. Ketika itu, Presiden pertama RI yang penuh pesona itu mengamini keinginan tersebut. Tetapi, ada syarat yang mesti dipenuhi, yaitu sumbangan pengusaha batik kepada negara.

Dari pertemuan itu, para pengusaha batik yang tergabung dalam GKBI pun menyepakati untuk urunan. Tidak main-main, urunan mereka pun mencapai angka yang fantastis dalam hitungan masa itu. 

Sejumlah 16,7 miliyar rupiah berhasil mereka himpun. Dan dari jumlah itu mereka pun menyedekahkan urunan itu kepada negara dengan pendirian Planetarium, sebuah gedung yang menjadi wahana belajar tentang dunia antariksa.

Peristiwa kedua terjadi pada tahun 2005. Kala itu sejumlah pengusaha batik bersatu padu untuk mewujudkan impian mereka, membatik dunia! Selembar kain mori sepanjang 1.200 meter dibentangkan. Ratusan hingga ribuan orang pun dihimpun. 

Mereka kemudian membatik bersama-sama di jalanan.  Peristiwa ini bahkan menjadi catatan rekor yang terdokumentasi di Guinnes Book World sebagai penyelenggaraan Festival Batik terpanjang di dunia.

Sedang peristiwa ketiga, tidak lain adalah pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai salah satu warisan budaya dunia tak benda pada tanggal 2 Oktober 2014. 

Pengakuan UNESCO ini tidak lepas dari peran besar inisiasi pembatik Pekalongan yang kala itu berusaha mengembalikan kedaulatan batik sebagai kedaulatan rakyat Pekalongan, kedaulatan bangsa Indonesia. 

Apalagi saat itu bangsa Malaysia tengah gencar main klaim, bahwa batik adalah bagian dari kebudayaan mereka. Geram dengan sikap Malaysia, rakyat Pekalongan pun bertindak. 

Hingga pada akhirnya, UNESCO pun mengakui batik Indonesia sebagai batiknya dunia. Sejak itu pula tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai hari Batik Nasional.

Ya! Pekalongan membatik dunia. Juga membatik semesta!

Tentu, capaian itu mustahil diraih tanpa kerja keras dan usaha cerdas dari rakyat Pekalongan. Namun, kerja keras dan usaha cerdas itu menjadi modal yang cukup? Tentu tidak. 

Dibutuhkan keikhlasan dan kerelaan yang super ekstra. Sikap ikhlas inilah yang sejatinya mampu menuntun rakyat Pekalongan pada capaian itu. Sikap ikhlas ini pula yang mampu mengantarkan rakyat Pekalongan menjadi berdaulat.

Jika demikian, rakyat Pekalongan adalah rakyat yang tahan banting. Rakyat yang telah teruji kesabarannya. Rakyat pilihan! Mereka tidak mengeluhkan kondisi dan situasi sosial politik, juga situasi ekonomi yang kerap naik-turun. Mereka tahu, situasi ekonomi yang begitu tidak lain hanya sebuah tipuan dunia. Mereka sudah melek dunia.

Yang lebih ekstremnya, sekalipun mereka diinjak-injak oleh produk-produk politik hasil kompromi antara eksekutif dan legislatif, mereka tetap mampu bertahan dan tetap bersedia memberi yang terbaik bagi negerinya. 

Bagi bangsanya. Dan di sana pula secara implisit terkandung makna persembahan bagi Gusti Allah, Sang Maha Segalanya, Sang Maha Memberi.

Inilah ciri dari bangsa pilihan. Bangsa yang kelak mewarisi kemuliaan-kemuliaan. Kini, mampukah kita menanggung berkah yang begitu besar ini? 

Membawanya dan mewariskannya kepada anak-cucu kita kelak. Mengajarkan pada mereka bagaimana menjadi orang-orang pilihan yang dengan sabar dan ikhlas bersedia memberi makna bagi bangsa ini, bagi kehidupan ini. Menjadi orang-orang yang tangguh. 

Sebab, di hadapan kita, kini tengah berlangsung sebuah fenomena yang mau tidak mau harus kita jawab. Kita tidak bisa menutup mata dan memalingkan muka di hadapan kenyataan.

Boleh-boleh saja Pekalongan membatik dunia, bahkan membatik semesta ini. Tetapi, kita tak boleh meninggalkan tanggung jawab kita sebagai manusia. Kita mesti membatik rasa kemanusiaan kita sebagai penyerahan diri kepada Sang Khalik.

Baca juga:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun