Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Egalitarianisme dalam Batik Pesisir Pekalongan

28 September 2021   03:13 Diperbarui: 30 September 2021   02:50 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembuatan batik. (sumber: DOK. SHUTTERSTOCK/ASEP DWI KURNIAWAN via kompas.com)

Jika sapaan "Ji" menjadi bermakna secara simbolis tentang status sosial seseorang, maka bisa jadi bahwa pada rakyat negeri batik telah terjadi pergeseran makna struktur sosial. 

Heirarki sosial tidak lagi dilihat dari profesi atau jabatan atau keturunan bangsawan atau pula kekayaan harta. Secara sepintas, tampak bahwa heirarki sosial di dalam rakyat negeri batik ini ditentukan oleh keberagamaan seseorang. 

Dengan kata lain, bagi siapa saja yang mampu menjalankan agamanya dengan baik, maka ia akan mendapatkan kedudukan di tengah-tengah masyarakat.

Akan tetapi, apakah hanya itu? Oh rupanya tidak serta-merta begitu. Ternyata masih juga berkaitpaut dengan persoalan lainnya, terutama dengan kekayaan materi. Orang yang mampu menunaikan ibadah haji jelas-jelas harus memiliki kemampuan ekonomi yang mapan. 

Maka, sebenarnya di balik sapaan "Ji" itu terdapat pula makna yang tersembunyi. Bahwa mereka yang ditinggikan posisinya dalam masyarakat tidak sekadar orang-orang yang dipandang telah menjalankan perintah agama, melainkan dilihat pula sebagai orang-orang kaya. Nyaris, dari sekian banyak yang berhaji itu adalah para saudagar kaya.

Meski begitu, bukan berarti sapaan "Ji" ini menjadi tuntas. Sebab, pada kenyataannya di balik sapaan "Ji" masih terdapat makna lain. 

Jika sebelumnya dikaitkan dengan amal ibadah dan kekayaan seseorang, maka makna berikutnya sangat berkaitpaut dengan perilaku keseharian. Ya, rakyat negeri batik memiliki cara lain untuk mendefinisikan sapaan "Ji" itu tadi. 

Dalam hal ini, sapaan "Ji" bisa jadi sekadar sapaan tanpa penghormatan, terutama kepada orang-orang yang berperilaku kurang "pas" sebagai haji. 

Dari sini muncul pula idiom-idiom lain, seperti "Kaji Medit", "Kaji Serakah", "Kaji Tamak", "Kaji Royal", dan lain-lain. Maka kemudian, gugurlah klasifikasi sosial, karena tidak ada rumusan yang tetap menyoal klasifikasi sosial tersebut.

Jika demikian, rakyat negeri batik memiliki pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Klasifikasi sosial yang berlaku tidak matok pada satu aspek, melainkan pula terus dilakukan redefinisi dan rekonstruksi klasifikasi sosial yang mereka bangun. 

Pertimbangan mereka tidak berhenti pada aspek materiil atau ekonomi melainkan pula aspek-aspek lain dalam kehidupan. Seperti perilaku, sikap, tindakan, dan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi cerminan mental seseorang; juga mempertimbangkan aspek moral, etika, serta religiusitas seseorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun