Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sastra Indonesia di Tengah Banjir Segala Bidang

16 September 2021   03:47 Diperbarui: 16 September 2021   10:01 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: kompas.com

Beberapa waktu lalu, tak sedikit orang mengkhawatirkan banjir informasi yang menggenangi ruang-ruang sosial, hingga bilik-bilik privat. Awalnya, banjir informasi ini dipandang sebagai pesta pora era keterbukaan. 

Tetapi lambat laun, kekhawatiran muncul kemudian bahkan semakin besar. Sampai-sampai berbagai upaya dilakukan untuk membendung luberan banjir informasi itu agar tidak menjamah tempat-tempat paling rahasia, seperti toilet atau kamar mandi misalnya.

Seperti halnya banjir air, kalau sampai menggenangi kamar mandi dan toilet sudah tentu akan membuat tak nyaman. Apalagi di antara aliran air yang membanjir itu ada sampah yang berserakan, mengapung dan terbawa arus. Sudah pasti itu akan membuat pemandangan semakin tak sedap.

Begitu pula yang terjadi pada era banjir bandang informasi. Tak hanya informasi yang benar, informasi-informasi sampah pun ikut terbawa. Ada banyak macamnya. 

Ada barang bekas, perkakas rumah tangga milik entah siapa, sampai pakaian dalam dengan berbagai warna dan bentuk serta ragam ukuran yang tak jelas siapa pemiliknya, dan apa saja.

Tentu, dalam banjir yang sudah kadung meninggi dan arusnya terlampau deras itu rasa-rasanya aneh jika kemudian upaya pembangunan bendungan baru dilaksanakan. 


Jika langkah itu dilaksanakan, terlalu besar risiko yang diambil. Ongkosnya pun tak hanya besar, tetapi sangat besar. Tingkat keberhasilannya pun boleh jadi sangat diragukan.

Alih-alih menutupi ketakberdayaan membangun tanggul, lantas para pemegang otoritas pun berdalih. Mereka tak betulan membuat tanggul. Yang mereka lakukan hanya memasang jaring. 

Tujuannya, sekadar menyaring informasi. Tetapi, ada yang luput dari perhitungan. Yaitu, tentang kekuatan jaring yang mereka pasang. Juga kemampuan jaring itu untuk benar-benar menahan segala jenis sampah dengan beragam ukuran. 

Nyatanya, sekalipun cukup berhasil menahan sampah-sampah itu, masih saja ada sampah yang lolos. Ukurannya tak besar. Tetapi, sekali sampah itu lolos dan masuk ke permukiman, warga pun menjadi geger.

Berkaca dari pengalaman banjir informasi itu, saya mencermati, rupanya tak hanya informasi yang membanjiri kehidupan manusia. Akan tetapi, banjir bandang informasi itu juga turut dirayakan oleh para kreator. 

Terutama, di bidang sastra. Dalam sehari saja, kalau memang mau dihitung, ribuan atau bahkan ratusan ribu tulisan tercecer di sana-sini. 

Ada yang berbentuk seperti puisi, ada pula yang dikreasikan sebagaimana prosa. Namun drama, sepertinya masih sangat terbatas.

Dengan memanfaatkan berbagai macam platform media sosial atau media-media baru, tulisan-tulisan itu bebas saja berenang-renang. Menariknya, semua tulisan itu bersuara. Mereka mengakui dirinya sendiri sebagai karya sastra. 

Bagi saya, sah-sah saja mereka bersuara demikian. Lagipula, sejak kemunculan sastra Indonesia modern, karya yang dianggap mampu mewakili sastra Indonesia ya mesti berupa sastra tulis. 

Artinya, suara mereka tidak bisa disalahkan dan sudah menjadi konsekuensi bagi sastra Indonesia modern.

Kendati demikian, ukuran sebuah tulisan menjadi layak disebut karya sastra masih sangat terbuka bagi perdebatan panjang. 

Jangankan untuk disebut karya sastra, untuk dikukuhkan sebagai puisi atau prosa pun tak jarang masih ditemukan perbedaan pandangan di antara para pakar maupun para sastrawan. Pergulatan panjang di antara kedua kelompok ini terus saja berlangsung, nyaris tanpa henti, tanpa jeda.

Sayangnya, perdebatan di antara dua kelompok ini tak sampai keluar ruang diskusi mereka. Suara gaduh perdebatan itu lagi-lagi hanya membenturi dinding ruangan. 

Memantul dan hanya bisa didengarkan oleh mereka sendiri sebagai gema. Kalaupun sampai terdengar dari luar ruangan, jangkauannya tak terlalu jauh. Mungkin hanya sampai di koridor yang sepi dan senyap.

Padahal, diskusi-diskusi yang mereka hadirkan menyodorkan berbagai macam menu sajian yang bergizi. Menyehatkan dan sangat enak, macam masakan yang dibikin oleh Guy Savoy, chef Perancis yang sanggup membanderol masakannya seharga 555 dolar Amerika. Sangat berkelas!

Gagasan-gagasan baru juga kerap dihidangkan di atas meja debat mereka. Terma-terma kekinian dengan beragam istilah asing yang keren turut pula menghias ruang debat itu. 

Tak dinafikkan pula teori-teori besar dari masa lampau dibicarakan. Tetapi, lagi-lagi, agaknya ruang diskusi itu gelagapan ketika disodori fenomena yang terjadi di luar arena debat mereka. 

Belum lagi, dengan masalah budaya membaca atau yang kemudian didengung-dengungkan sekarang dengan istilah budaya literasi.

Rendahnya minat baca yang kemudian disusul dengan banjir karya, menyuguhkan sebuah pemandangan yang paradoks. Tak mengherankan jika beberapa tokoh lain juga mempertanyakan, bagaimana kualitas karya-karya baru yang membanjir itu. 

Sementara membaca belum sepenuhnya menjadi tradisi yang kuat, kok malah sekarang banyak karya baru bermunculan, nama-nama baru juga bermunculan di atas pentas dunia maya pada khususnya.

Memang, tidak bisa dianggap remeh keberadaan para pendatang baru di atas pentas karya itu. Mereka juga perlu diapresiasi dan diberi tempat yang pantas. Kehadiran mereka juga perlu disambut dengan suka cita. 

Artinya, dengan kehadiran mereka membuahkan harapan baru. Bahwa kehidupan sastra barangkali saja masih akan bertahan lama. Kemeriahan ini perlu disyukuri. Tetapi, juga perlu diwaspadai. 

Dengan syarat, kemeriahan sastra kekinian mesti disikapi dengan cara pandang yang positif. Berharap, kemeriahan ini merupakan berkah.

Sembari berprasangka baik, tentu saja kewaspadaan itu diperlukan. Banjir karya yang tak lagi bisa diurai, terlampau besar dan meluas itu perlu disikapi dengan sebijak-bijak mungkin. Segala daya mesti dikerahkan untuk mendukung upaya mengklasifikasikan tulisan-tulisan itu.

Sempitnya ruang diskusi yang tersedia, sudah pasti tak dapat difungsikan sebagai bendungan. Dan memang, sejak kemunculannya, sastra Indonesia modern tak pernah menyiapkan dirinya menjadi sebuah bendungan. 

Ia hanya menyediakan tanggul besar yang harapannya susah dijebol. Berbagai peristiwa peminggiran atau bahkan pemberangusan karya-karya sastra tertentu cukuplah menjadi contoh nyata, bagaimana kerja sastra Indonesia dalam menyikapi segala macam perbedaan.

Seperti yang disangkakan oleh beberapa tokoh, Saut Situmorang salah satunya, sastra Indonesia modern hanya menyediakan pintu kecil bagi karya-karya tulisan yang bertebaran di ruang publik untuk diseleksi dan dinyatakan lolos atau tidak sebagai karya sastra. Ini tak bisa dilepas dari akar sejarah sastra modern di Indonesia yang diawali dengan kehadiran Balai Pustaka. 

Menurut Bung Saut, proses seleksi yang dilakukan Balai Pustaka terlampau politis. Selain itu, tindakan Balai Pustaka yang meminggirkan karya-karya sastra di luar Balai Pustaka telah memberi sumbangan besar bagi penisbian atas upaya pencarian kaidah estetika maupun dunia pemikiran.

Sejak itu pula, tradisi Balai Pustaka menjadi langgeng. Catatan keprihatinan Yoseph Yapi Taum perkembangan sastra modern di Indonesia yang tercerabut dari akar sejarah budayanya, tentu menjadi tamparan. 

Hingga pada akhirnya, seorang Gunawan Mohamad dan Arief Budiman pun menuliskan, betapa perkembangan sastra Indonesia modern ini mencapai pada titik yang sulit dimengerti. 

Sastra Indonesia modern justru terasing di kampungnya sendiri, hingga boleh dibilang kehilangan cita-cita. Ia gelisah, tetapi kegelisahannya tak sampai menjadi jawaban atas semua keresahan yang berkecamuk.

Diakui atau tidak, campur tangan politik kekuasaan yang terlalu lama mencengkeram kesusastraan Indonesia modern, benar-benar telah membuahkan hasilnya. 

Sastra, pada akhirnya hanya seperti seorang gadis penari yang lemah gemulai menggerakkan badannya di atas panggung, dengan sorot lampu yang menawan. 

Tampak megah memang penampilannya. Tampak elegan dan bernyawa. Tetapi, selepas ia turun panggung, ia harus kembali menjadi seorang bakul pecel yang duduk bersila di bawah pohon beringin, di atas trotoar tepi alun-alun kota. 

Itu masih mending, sebab masih bisa meladeni para tukang becak untuk melepaskan rasa lapar. Terkadang, masih bisa bersenda gurau dengan tukang-tukang parkir. Sastra?

Mungkin hanya dijumpai di bangku-bangku sekolah, dengan porsi yang sangat terbatas. Kalaupun ada lebih, tentu ini soal pilihan sikap seorang guru Bahasa Indonesia. 

Mungkin karena kebetulan atau memang karena ia memiliki kecintaan yang lebih pada sastra, sehingga ia mau memberi waktu lebih untuk sekadar mengobrol dan bercerita dengan murid-muridnya mengenai sastra. 

Apalagi jika figurnya sangat digandrungi murid-muridnya, mudah baginya untuk mengarahkan murid-muridnya agar mempelajari sastra dengan tekun. Di sisi lain, perlu pula kita tengok guru-guru non mapel Bahasa Indonesia. 

Tidak menutup kemungkinan---bahkan sangat besar kemungkinannya---mereka diam-diam adalah penikmat sekaligus pencinta sastra. Dengan rasa cintanya itu, sangat mungkin, mereka mau membagikan cerita pengalamannya membaca karya sastra. Tetapi, apakah jumlah mereka cukup? Entahlah. 

Yang jelas, mereka sangat dikejar target. Materi yang mereka ajarkan harus 100% terpenuhi. Jika terlalu banyak waktu ia gunakan untuk bercerita ia khawatir akan membuang banyak waktu. 

Padahal, andai disadari, korelasi kisah-kisah dalam naskah-naskah sastra dengan materi-materi yang mereka ajarkan---kalau sempat mereka cari---sangat kuat.

Ya, mengajarkan sastra, secara formal memang menjadi tugas guru Bahasa Indonesia. Tetapi, jika diurai lebih dalam, tidak demikian. Semua mata pelajaran sangat memungkinkan untuk itu. 

Melalui karya-karya sastra, para guru mapel non Bahasa Indonesia sesungguhnya bisa mengantarkan materi pelajaran mereka dengan lebih baik. Sebagai misal, pelajaran Agama. 

Kisah-kisah nabi atau uraian-uraian ayat dalam kitab suci sangat mungkin dijelaskan dengan pendekatan sastrawi. Bukankah, bahasa dalam kitab-kitab suci itu juga sangat kaya dan tinggi akan kandungan sastranya?

Di Perguruan Tinggi, studi sastra tampaknya makin sepi peminat. Bukan hanya karena soal pragmatismenya. Tetapi, juga karena ketidakmampuan Perguruan Tinggi memberi rasa kepercayaan kepada masyarakatnya tentang pentingnya ilmu pengetahuan yang diajarkan. 

Sampai-sampai mereka pun terseret dalam arus deras banjir bandang pragmatisme. Perguruan Tinggi tak cukup mampu mengawal arah pembangunan kritik sastra yang berdaya kuat, sehingga dapat didengar dan dipertimbangkan oleh pemangku kekuasaan. Malah, ada pula yang memilih mlipir dan pura-pura tidak tahu jika masalah yang dihadapi sastra sedang genting-gentingnya. 

Kemudian, tampil sebagai selebritis di atas panggung dengan pura-pura membacakan puisi dengan tampilan yang memukau. Atau, malah ikut berenang di antara banjir karya itu lalu meminta dibikinkan label seniman. 

Atau, memilih tampil di depan para penguasa dengan tampilan sebagai hamba sahaya, sedang di hadapan masyarakat tampil sebagai bangsa ningrat pengagum feodalisme. 

Atau, memilih jalan aman yang sangat pragmatis; cukup menjadi seorang karyawan di sebuah perusahaan yang dilabeli lembaga pendidikan swasta.

Meski demikian, saya meyakini, masih ada banyak orang yang peduli. Beberapa tokoh kritikus sastra dari kampus masih setia mengawal arah kritik sastra. Mereka tak hanya memikirkan bagaimana sastra di kemudian hari. 

Akan tetapi, juga secara terencana mengambil langkah-langkah strategis untuk memosisikan sastra secara tepat di dalam kehidupan masyarakat. 

Tapi, jumlah orang-orang yang begini sangat mungkin tak terlalu banyak. Masih dibutuhkan banyak lagi orang-orang yang demikian. Berkomitmen untuk menjadi pengawal ilmu sastra. Untuk alasan itu, regenerasi sangat diperlukan. 

Jelaslah sudah. Kini, di tengah-tengah banjir segala bidang, sastra Indonesia tampak gagap. Ia tak cukup berani mengambil risiko. Bahkan, tak cukup memiliki daya untuk bersikap. 

Sehingga, banjir karya yang memenuhi segala penjuru tak diimbangi dengan kritik karya sastra. Dalam benak saya, sastra saat ini seperti dalam sebuah pilihan yang sulit; antara menyiapkan jaring atau membangun bendungan dengan menyiapkan skoci. 

Jika pilihan pertama yang diambil, tentu membutuhkan energi yang sangat besar. 

Tetapi, jika pilihan kedua yang disepakati, maka pertanyaannya adalah hendak pergi kemana dan apakah dengan skoci itu akan terjamin keselamatannya?

Sudah tentu, fenomena seperti ini menunjukkan ekosistem sastra sedang tidak baik-baik saja. Wajar jika kemudian kerap muncul pengulangan pertanyaan, 'Apa gunanya sastra bagi kehidupan, bagi pembangunan?'. 

Dan lagi-lagi, Yang mengkhawatirkan, adalah ketika karya-karya itu pada akhirnya akan menjadi laiknya cuitan-cuitan liar di twitter yang memicu pertengkaran dunia maya. 

Sementara, orang-orang bertepuk tangan melihat pertengkaran itu, lalu saat memalingkan muka, mereka meludah sambil mengumpat. 

Oh! Akankah serendah itu, sastra? Semoga saja tidak. Sekalipun definisi sastra di era kini sudah sangat lain dibandingkan dengan batasan istilah sastra dalam bahasa asalinya, Sanskerta.

Mengakhiri tulisan iseng ini, sambil nyeruput kopi, saya mengamini doa yang disampaikan Emha Ainunnajib (Cak Nun), bahwa sastra hidup dalam diri manusia. Selama manusia masih ada, selama itu pula sastra masih hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun