Jangankan tidur pulas, untuk sebentar memejam saja susah. Tusukan udara malam itu tembus sampai tulang. Ngilu rasa persendian. Hujan seharian. Penuh. Sejak kemarin malam sampai malam lagi.
Di kamarku nyaris tak ada yang kering. Hanya tiga potong baju dan dua potong celana. Kasurku ikut basah. Terpaksa malam itu kami—aku dan adikku—meringkuk di atas almari.
Ibu dan Bapak, juga adikku yang paling kecil, telah diungsikan. Hanya kami berdua tinggal di rumah. Berjaga-jaga. Ya, dalam situasi seperti sekarang rasa aman menjadi pertaruhan.
Demi keamanan kenyamanan ditanggalkan. Demi keamanan kadang nyawa dijadikan jaminan. Betapa keamanan, mahal harganya.
Sebentar, jangan disangka-sangka dulu. Kami berjaga-jaga bukan karena takut ada yang raib dari rumah. Bukan pula karena khawatir kalau-kalau ada seseorang yang tiba-tiba masuk ke rumah tanpa permisi, lantas mengambil sesuatu dari rumah kami. Tanpa pencuri pun sudah pasti ada yang hilang dari rumah kami.
Ya, sudah puluhan tahun rumah kami dipenuhi air. Dan setiap surut kemudian, selalu ada yang hilang setelah kami memeriksa semuanya. Entah hanyut. Entah hancur. Entah pula karena apa. Sampai pada suatu hari, Ibu dan Bapak hanya pasrah.
“Hilang ya hilang. Mau diapain lagi?” kata Bapak.
“Tapi kan eman-eman, Pak,” ucap Ibu sedikit menekan.
“Ya, ambil hikmahnya, Bu. Yang sudah hilang, itu artinya sudah diambil sama pemiliknya. Gusti Allah. Siapa tahu, Gusti Allah bakal menggantinya dengan sesuatu yang lebih. Ikhlaskan saja, Bu,” balas Bapak.
Ceramah singkat Bapak membuat kata-kata Ibu labas. Yang tersisa hanya suara desah napasnya. Menghempaskan udara dalam-dalam. Sebenarnya, itu tanda kalau hati Ibu mengkal. Tetapi, ia tak ingin naik garam. Yang ia cemaskan jantung Bapak, kalau-kalau seketika ia menyalakan api dengan ucapannya.
Bagi Ibu, sekalipun tak seberapa harganya, tetapi sesuatu yang raib dari rumah itu punya nilai. Tetapi, kehilangan telah merampas nilai itu.