Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Main-main Sama Ilmu Batik!

25 Agustus 2021   13:22 Diperbarui: 25 Agustus 2021   22:31 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lalu, ketika tiba giliran presentasi kedua, saya dibikin tambah bengong lagi. Sekar, mahasiswinya Bu Puji, mempresentasikan konsep desainnya yang diinspirasi dari bunga teratai. Rinci ia memaparkan apa makna bunga teratai. Dari mulai mitologi Hindu, Buddha dan segala macamnya tentang bunga itu sampai pada masalah ekologi. Dia lantas memberi satu kalimat kunci dari desainnya itu sebagai premis; jadilah seperti bunga teratai, sekalipun ia hidup di kubangan yang kotor, tetapi ia tetap tampak indah dan bersih.

Saya dibuatnya tepok jidat keras-keras sambil nyebut-nyebut. Dhuh Gusti... hari gini masih ada mahasiswi yang belajar sungguh-sungguh. Limpahkanlah kepada mereka keberkahan-Mu, Gusti. Sementara saya, sebagai orang yang ditugasi untuk mengarahkan mereka kadang merasa nggak mampu melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Saya hanya sibuk ngurusi hal-hal yang sebenarnya nggak perlu-perlu amat. Dibuat takut pada sesuatu yang mestinya tak boleh membuat saya takut. Oh!

Presentasi ketiga makin bikin saya nggak kuat lagi. Falahy, dengan desain gaya kontemporernya mempresentasikan desain batik dekonstruktif dari motif parang. Ia hanya mengambil satu bagian kecil dari motif parang itu, kemudian disusun sedemikian rupa. Jadilah motif itu bergaya postmodern yang cenderung menampilkan kesan maskulinitas. Garis-garis tegas, lekuk yang curam menandai keberanian dan kegagahan maskulinitas pada motif. Pengulangan pola yang menjadi penekanan membuat konsep desainnya seolah memiliki kemampuan meningkahi zaman.

Saya benar-benar terperangah dibuatnya. Bahkan, saat saya dipaksa mengomentari desain karya Falahy, saya terpaksa harus belanja kata-kata karena stok kata-kata saya di gudang sudah habis. Saya pun meminjam penjelasan dekonstruksinya Derrida. Dan ternyata cocok! Slamet... slamet. Komentar saya nggak salah-salah amat.

Giliran presentasi selanjutnya, keempat, Syahrul menawarkan konsep desain perpaduan elemen-elemen alam. Ia memberi judul konsep desainnya, Rasa Bungah. Bahwa alam semesta dengan segala macam kehidupan yang berlaku di dalamnya adalah wujud rasa bungah (kegembiraan). Dan kegembiraan itu adalah bentuk konkret dari keseimbangan. Sementara keseimbangan itu menandai keberterimaan dan rasa syukur semua makhluk di alam raya ini atas anugerah besar yang diberikan Tuhan kepada alam seisinya.

Wah! Ternyata batik itu benar-benar kompleks! Seketika saya memukul meja kerja di ruang tamu rumah saya. Nggak sampai tetangga dengar sih. Saya mukul meja bukan karena marah pada si pendesain. Saya merasa marah pada diri saya sendiri atas ketololan saya yang menganggap remeh mereka. Menganggap remeh batik hanya karena dipengaruhi oleh pandangan kalau batik itu cuma barang dagangan. Edan!

Pada presentasi berikutnya, presentasi kelima, Khamanda mengambil daun sebagai inspirasi. Ia mengembangkan pola-pola daun dan mengkomposisikannya ke dalam motif yang dirancangnya. Lalu, dikembangkan rancangannya itu menjadi daur perjalanan daun. Dari mulai bertumbuh hingga lepas dari tangkai dan mengering hingga menghumus. Siklus hidup daun ini lantas dijadikannya sebagai pesan, bahwa manusia mestinya tidak membiarkan dirinya mati sia-sia. Sebab, daun yang mati pun pada gilirannya menjadi berguna bagi makhluk lainnya, bahkan bagi tumbuhan itu sendiri.

Alamaaak! Saya makin tampak tolol seketika itu. Betapa mereka, mahasiswa semester dua itu, benar-benar bikin saya makin merasa perlu lebih banyak belajar lagi dari mereka. Ilmu pengetahuan yang sebenarnya sekadar informasi yang saya peroleh dari buku-buku kuliah dulu telah lama membeku. Hanya tersimpan di dalam kulkas pikiran. Terperangkap oleh rasa congkak yang dikemas dalam kecengengan yang berlebihan. Seolah adu argumen, tetapi sebenarnya mempertahankan kepentingan karena ditakut-takuti oleh bayangan diri sendiri.

Keenam, giliran presentasinya Hana. Konsep desain batiknya mengambil sulur-suluran sebagai elemen utama. Ia membayangkan sulur sebagai simbol persaudaraan. Ikatan di antara makhluk. Dalam ikatan itu, sesama makhluk memiliki tugas untuk saling menjaga dan melindungi. Atas dasar rasa kasih-sayang dan rasa cinta. Maka, ikatan-ikatan apapun yang dibangun oleh sulur itu bukanlah dimaksudkan untuk merintangi. Tetapi mestinya menjadi penghubung agar saling memahami dan mengerti sekaligus sebagai bentuk perlindungan.

Saya kagum dengan desain karya Hana. Ia mencoba mengeksplorasi satu bagian kecil dari tumbuh-tumbuhan. Dengan begitu, ia sebenarnya tengah mempelajari ilmu tanaman. Botani. Sama halnya dengan yang dilakukan Khamanda, Syahrul, Sekar, dan seorang kawan lainnya yang nanti akan saya sebut namanya.

Kekaguman saya makin menjadi ketika menyimak deskripsinya. Sompret! Deskripsi ini keren beneran! Deskripsi Hana membuat saya tertampar. Sebab, sependek yang saya tahu, manusia itu nggak lepas dari intrik dan konspirasi. Tetapi, apapun itu sebenarnya nggak harus terlalu dipikirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun