Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Universe

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Perubahan Iklim dan Eksistensi Manusia

21 November 2021   07:00 Diperbarui: 21 November 2021   12:23 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertambangan Batubara. Sumber: gettyimages

Perilaku nenek moyang kita yang mengeksploitasi alam demi eksistensi inilah yang kita wariskan hingga sekarang. Manusia adalah makhluk yang egois atau mementingkan dirinya sendiri. Itu sudah ada dalam gen kita. Richard Dawkins menyebutnya selfish gene. Mementingkan dirinya sendiri sudah menjadi natur manusia.

Natur manusia sungguh paradoks. Satu sisi, mungkin, tanpa bersikap mementingkan diri sendiri (hanya peduli dengan sesama manusia, tidak dengan alam) tidak akan ada peradaban manusia yang modern seperti sekarang ini. Disisi lain terjadi pemanasan global dan rusaknya biodversitas.

Sungguh ironis ketika harimau keluar dari habitatnya dan masuk ke pemukiman manusia, yang disalahkan justru harimau. Padahal, yang merusak habitat harimau adalah manusia. Saat banjir terjadi kita mengkambinghitamkan hujan. Bukankah alam hanya beradaptasi dengan apa yang kita telah perbuat?

Sellfish gene juga terlihat nyata saat kampanye mitigasi perubahan iklim. Inti dari mitigasi perubahan iklim cenderung berpusat pada bagaimana caranya menyelamatkan bumi agar manusia tidak punah. Mindset agar keberlangsungan hewan dan tumbuhan sangat jarang atau mungkin tidak ada sama sekali dalam pikiran kita. Bukankah hewan dan tumbuhan punya hak yang sama untuk hidup seperti manusia?

Ketamakan

Dalam kehidupan sehari- hari, mengacu Angka Kecupukan Gizi (AKG), seringkali 55 gram protein untuk laki- laki dewasa atau 75 miligram vitamin C untuk perempuan dewasa dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap harinya. Produksi pangan yang berlebihan dan kebiasaan menyisakan makanan mengakibatkan makanan terbuang dengan sia-sia.


Sisa makanan yang terbuang adalah penyumbang terbesar (40,3%) dari limbah yang ada di Indonesia. Dan emisi yang dihasilkan dari limbah untuk tahun 2019 sebesar 134.119 Gg CO2e. Artinya, emisi gas rumah kaca sebanyak 54 Gg CO2e dihasilkan hanya dari sisa makanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2020).

Selain itu beberapa dari kita merasa tidak cukup punya 1 mobil (bahan bakar fosil), kita memiliki 2 atau 3 mobil. Padahal, setiap orang bisa mengurangi emisi dengan tidak memiliki mobil (bahan bakar fosil) pribadi. Bila itu dilakukan, menurut penelitian Diana Ivanova, et al (2020), setiap orang bisa mengurangi emisi CO2 sekitar 2 ton per tahun.

Dua contoh diatas menjadi bukti betapa sulitnya manusia merasa cukup. Dengan kata lain, kita cenderung tamak. Ungkapan greed is good dalam film Wall Street (1987) sangat cocok merepresentasikan manusia modern. Ketamakan telah menjadi candu bagi setiap orang meski dalam bentuk dan kadar yang berbeda- beda.

Pertambangan Batubara. Sumber: gettyimages
Pertambangan Batubara. Sumber: gettyimages

Ketamakan membuat manusia menebang hutan secara besar-besaran untuk perkebunan sawit. Tidak peduli keberlangsungan hewan dan tumbuhan yang ada didalamnya. Ketamakan yang mendorong manusia untuk mengeruk batubara secara masif tanpa memperhitungkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun