Mohon tunggu...
Riant Nugroho
Riant Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Spesialis Kebijakan Publik, Administrasi Negara, dan Manajemen Strategis

Ketua Institute for Policy Reform (Rumah Reformasi Kebijakan)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tantangan Kebijakan Ekonomi Jokowi

19 Februari 2015   05:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:55 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[pernah di-share di IndonesianReview.com]

Masa “bulan madu” Presiden Joko Widodo segera berakhir. Pesona “blusukan” pun segera memudar, jika prestasi dan janji-janji politiknya tak terwujud sebagaimana diharapkan publik.

Sesungguhnya, lepas dari dijanjikan ataupun tidak, selama menjadi prioritas  masyarakat, prestasi itu tetap akan ditagih rakyat. Salah satu yang akan ditagih adalah keberhasilan ekonomi pemerintahan Jokowi. Karena untuk itulah presiden dipilih.

Dalam lima tahun ke depan, setidaknya terdapat lima tantangan ekonomi yang bersifat struktural, dalam arti melekat kepada struktur perekonomian Indonesia. Tantangan tersebut lebih berkenaan dengan tantangan kebijakan ekonomi daripada tantangan ekonomi  belaka. Karena, untuk menyelesaikannya, diperlukan seperangkat kebijakan ekonomi yang unggul. Pada kelima tantangan tersebut, kualitas "teori ekonomi" Presiden Jokowo akan diuji.

Tantangan pertama, meminjam istilah Rizal Ramli, adalah kuatro defisit keuangan negara, yaitu defisit anggaran (fiskal), defisit neraca perdagangan, defisit neraca transaksi berjalan, dan defisit neraca pembayaran. Tantangan ini memerlukan respon kebijakan keuangan yang lebih dari business as usual. Sayangnya, respon kebijakan keuangan yang dipilih Jokowi adalah melonjakkan pencapaian pajak. Alhasil, target penerimaan pajak 2015 meningkat Rp 600 triliun, yang menurut Presiden Jokowi pun masih “separuh” dari target yang dikehendakinya.

Kebijakan “mencekik si kaya” untuk “menolong si miskin” ini tepat untuk era Robin Hood. Saat itu tidak ada relasi kesejahteraan antara mereka yang berpendapatan tinggi dengan rakyat biasa. Namun era itu menjadi tidak relevan ketika pemilik modal mempunyai kepentingan untuk menambah kekayaannya dengan membangun industri yang menciptakan lapangan kerja bagi orang banyak sekaligus memberikan kesejahteraan bagi rakyat banyak tersebut. Respon kebijakan ini lebih tercium didorong oleh ketidaksukaan atau bahkan kebencian daripada keinginan membangun struktur keuangan negara yang kokoh. Sebab sebenarnya ada banyak teori dan cara yang dapat digunakan untuk membangun keuangan negara yang sehat. Menggenjot pajak adalah cara terakhir.

Tantangan kedua adalah merespon bonus demografi yang diprediksi terjadi  di tahun 2020-2030. Secara demografis, jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada 2020-2030 akan mencapai 70 persen, sedangkan sisanya adalah penduduk yang tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun ). Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai sekitar 180 juta, sementara nonproduktif hanya 60 juta.

Bonus demografi ini membawa dampak ekonomi, karena dengan sangat rendahnya tingkat ketergantungan penduduk nonproduktif terhadap penduduk produktif, akan terjadi akumulasi tabungan yang eksponensial. Untuk itu, diperlukan respon kebijakan yang mampu menciptakan lapangan kerja secara masif untuk merespon ledakan banjir tenaga kerja yang sangat banyak. Jika ledakan tenaga kerja produktif tidak diimbangi terciptanya lapangan kerja yang setara, maka yang ada adalah banjir pengangguran.  Akibatnya, Indonesia akan menjadi negara gagal.

Masalahnya respon kebijakan yang ada justru menahan investasi di sektor riil dengan kebijakan pungutan pajak dan bukan pajak yang agresif, baik di tingkat nasional maupun daerah.  Masalah ini ditambah dengan keengganan pemerintah untuk segera memperbaiki kebijakan ketenagakerjaan pada saat ini, yang berintikan kebijakan upah minimum  dan kebebasan total dari pekerja untuk melakukan mogok dan telah berhasil mengubah potensi investasi menjadi realitas investasi. Samsung yang semula berniat membangun pabrik handphone di Indonesia, memilih Vietnam.

Saat ini diperkirakan 60-70% investasi dilakukan di pasar modal dan di sektor yang padat modal-padat-teknologi, yaitu pertambangan, perbankan-keuangan, perdagangan, telekomunikasi, dan jasa-jasa lainnya. Sisanya mengalir ke sektor yang menyerap tenaga kerja, tetapi tenaga kerja berpendidikan menengah dan tinggi, yang tidak sinkron dengan fakta kualitas SDM Indonesia yang berpendidikan kelas 2 SMP (menurut data Kemenko Kesra & SDM).

Di satu sisi kita memiliki kebijakan ketenagakerjaan yang disinsentif terhadap investasi - atau kebijakan batu sandungan - untuk merespon bonus demografi, dan di sisi yang sama kita juga berhadapan dengan karakter investasi yang cenderung non-padat karya, serta kondisi SDM yang relatif terbatas. Maka di sisi lain kita berhadapan dengan fakta bahwa AFTA telah dimulai awal 2015 ini.

Dengan keberhasilan pertumbuhan investasi dan ekonomi Indonesia, pada akhirnya lapangan kerja bukan lagi hanya untuk rakyat Indonesia, tetapi diperebutkan oleh rakyat se-ASEAN. Dengan produktivitas yang relatif rendah dan upah yang tinggi, maka peluang lapangan kerja sangat mudah direbut warga ASEAN.  Para pencari kerja dari Vietnam, Filipina, dan Kamboja misalnya, tidak akan banyak meributkan upah mereka, sepanjang mereka mendapatkan pekerjaan yang tidak diperolehnya di negara mereka sendiri. Tanpa kebijakan yang memadai, pekerja Indonesia akan "gigit jari" menyaksikan peluang kerjanya di dalam negeri direbut bangsa-bangsa lain.

Restrukturisasi BUMN

Tantangan ketiga, membina BUMN sebagai pelaku ekonomi nasional yang kuat. Istilah kuat setidaknya dari kinerja 10 BUMN raksasa, yaitu Telkom, Bank Mandiri, BRI, BNI, Semen Indonesia, PGN, hingga Aneka Tambang, yang menopang pasar saham Indonesia. Pemerintah perlu mendorong BUMN untuk menjadi pelaku bisnis yang normal dan dikelola secara professional dan mendorong mereka keluar dari "ketiak" birokrasi dan perlindungan politik.

Kebijakan yang ditempuh seharusnya adalah melakukan restrukturisasi  BUMN, untuk menyatukan 130 BUMN dengan sekitar 1.000-an anak perusahaan, menjadi sekitar 11-12 superholding untuk bisa menjadi pelaku-pelaku bisnis kelas dunia. Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan profesionalisasi  pengelolaan BUMN, termasuk di dalamnya penetapan Komisaris dan Direksi yang a-birokratik dan a-politik. Birokrat senior dan politisi serta afiliasi politik tidak lagi diperkenankan menjadi bagian dari tim manajemen BUMN di jengang apa pun. Untuk permodalan, BUMN harus melakukan aksi korporasi melalui pasar modal, perbankan, hingga aliansi strategis, baik nasional maupun global.

Alih-alih melakukan restrukturisasi dan profesionalisasi, di akhir Desember 2014 Kementerian BUMN secara terbuka mengumumkan akan ada tiga BUMN -- Antam, Wika, dan Adhi -- yang hendak ber-right issue. Pemerintah bahkan menyiapkan Rp 12 triliun untuk membeli 2/3 dari right issue tersebut. Bukan saja masalah profesionalisasi, namun keterbatasan APBN sudah sepantasnya tidak memberikan PMP (Penyertaan Modal Pemerintah) kepada BUMN, khususnya yang sudah go public. Kecuali untuk public service obligation.

Pembelian melalui right issue ini merupakan “cara-cara cerdas” (outsmarting) untuk melakukan PMP tanpa “ketahuan”. Jika pun pemerintah berdalih bertujuan mendapatkan capital gain dari aksi korporasi itu, maka ibaratnya pemerintah bersaing memperebutkan saham right issue dengan masyarakat/pasar untuk mendapatkan laba jangka pendek. Jelas masyarakat yang kalah. Ini jelas tidak fair.

Praktik good corporate governance dan  good governance, khususnya pada dimensi etik, dilanggar secara blak-blakan. Jika pun pada akhirnya pemerintah tidak melakukan apa-apa, toh pemerintah sebagai pemegang sudah “menggoreng” saham ketiga BUMN tersebut. Pada akhir Desember ketiga BUMN tersebut melonjak nilai sahamnya. Ironisnya, tidak ada keterangan, apalagi teguran, dari Bapepam atas tindakan yang tidak terpuji dari setiap pemilik usaha swasta yang dulu selalu dicela publik, tetapi kini dilakukan pemerintah sebagai pemilik BUMN itu.

Tantangan keempat adalah masalah pengangguran. Maraknya kasus kejahatan dengan kekerasan hingga oplosan adalah puncak dari gunung es yang bernama “kemiskinan”. Akar kemiskinan adalah “pengangguran”, karena dengan menganggur orang tidak mempunyai penghasilan untuk hidup layak, sekaligus tidak mempunyai kehormatan untuk berperilaku sosial dengan layak. Respon kebijakan yang diperlukan adalah menyiapkan konsep penanggulangan pengangguran yang efektif.

Diperlukan sebuah kebijakan ekonomi bebasis teori ekonomi yang baru, karena teori ekonomi  yang kini dipakai relatif kuno. Teori yang semata mendasarkan respon pengangguran dengan meningkatkan investasi dan mengukurnya dari pertumbuhan ekonomi semata. Memang, investasi memacu pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menciptakan lapangan kerja yang tinggi pula.

Pada tahun 1980-an, setiap 1% pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja baru sampai 400.000 orang. Artinya, dengan pertumbuhan 6% saja, sudah dapat menyerap sampai 2,4 juta pekerja. Sejak tahun 2000-an, di mana hampir semua industri berbasiskan teknologi (padat teknologi) dan padat modal, sebagaimana disampaikan di atas, maka saat ini 1% pertumbuhan ekonomi  menciptakan sekitar 120.000 lapangan kerja, kecuali dengan proyek padat karya dadakan dari pemerintah. Jika jumlah pengangguran (terbuka)  7,4 juta – di luar pekerja baru sekitar 2 juta per tahun -- maka diperlukan sampai 61% pertumbuhan ekonomi! Jika pun hendak diselesaikan selama lima tahun, diperlukan pertumbuhan ekonomi 12%! Tidak ada satu entitas ekonomi negara pun yang mampu melakukannya.

Beyond Economics

Diperlukan respon kebijakan ekonomi yang beyond economics. Pertama, kebijakan merombak kurikulum konvensional ke arah kurikulum yang membentuk entrepreneur, sehingga pendidikan menghasilkan pencipta kerja, bukan pencari kerja. Kedua, kebijakan pro-ekonomi dijital dan ekonomi kreatif, serta pengembangan pasar tradisional. Ekonomi dijital yang kini menjadi andalan global tidak mendapat respon yang cukup dari pemerintah, sementara ekonomi kreatif berhenti di produk-produk kasat mata, sedangkan produk seni yang berkelas internasional, seperti kebijakan “K-Pop”-nya pemerintah Korea Selatan tidak segera ditiru. Kebijakan industri kreatif justru akan dikorporatisasi dalam bentuk “Badan Ekonomi Kreatif” yang sepertinya beraroma birokratik daripada entrepreneurial.

Sementara itu, Jokowi sudah sepakat member prioritas kepada revitalisasi pasar tradsional –seperti yang juga pernah dijanjikan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan di era Presiden SBY.  Namun, respon kebijakannya berupa program pusat untuk membangun pasar tradisional. Padahal, urusan pasar tradisional harus menjadi urusan daerah. Kegairahan pusat menjadi pemilik “proyek pembangunan pasar tradisional secara masif” bernuansa politik pencitraan dan cum untuk pemerintah pusat daripada kesadaran untuk membangun ekonomi rakyat yang riil. Yang terjadi adalah bentrokan: Presiden berujar ekonomi tradisional, tetapi kabupaten dan kota berlomba membuka pasar modern mini, seperti Alfamart, Indomart, dan 7-11, di setiap kawasannya.

Tantangan kelima adalah mengatasi tantangan nexus keamanan terkini yang berada di tiga sektor prinsip: energi, pangan, dan air. Jay Hakes, dalam A Declaration of Energy Independence (2008) menyatakan bahwa AS pun sudah mendeklarasikan bahwa ketergantungan kepada sumberdaya migas telah mengancam keamanan nasional AS dan sudah waktunya dihentikan.  Indonesia justru berkutat untuk memperbesar kapasitas produksi dan ekspornya daripada membangun manajemen produksi dan konsumsi migas nasional yang berbasiskan kepada keamanan nasional. Pemerintah dan DPR membara di atas perdebatan bagaimana menaikkan lifting migas, bukan kepada upaya menjaga produksi pada tingkat sustainabilitas tertentu di satu sisi, dan di sisi lain menjaga konsumsi migas dengan cara membatasi industri otomotif dan membangun public transport modern yang unggul dan menjadi basis transportasi sampai 70% total warga.

Ketahanan pangan sudah ditetapkan Presiden Jokowi. Kita tidak perlu khawatir kehabisan gagasan, mulai dari peningkatan produksi, perdagangan antardaerah, hingga pola dan konsumsi diversifikasi  pangan. Termasuk di antaranya meningkatkan konsumsi ikan sebagai upaya menutup kesenjangan asupan protein hewani. Keamanan air menjadi bagian tertinggal dan dilupakan.

Tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan diperkirakan telah mencapai 54 persen. Jika saat ini penduduk Indonesia sudah lebih dari 240 juta, artinya paling sedikit ada 129,6 juta orang yang menyesaki perkotaan. Angka ini melambung tinggi dibandingkan hasil sensus penduduk 2010, di mana sebanyak 49,8 persen dari 237,6 juta penduduk Indonesia tinggal di kota. Saat ini tarif ta-rata air PAM DKI Jakarta lebih tinggi dibanding Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok. Sementara itu, hutan-hutan di kawasan hulu sungai, khususnya di Jawa, mengalami perusakan. Bendungan yang seharusnya menjadi penyimpanan air baku yang bersih sudah dijadikan sebagai lahan budidaya ikan dengan efek perusakan ekosistem. Padahal Singapura, Malaysia, dan Thailand, menjaga agar bendung-bendung air yang dimilikinya terjaga mutunya untuk dijadikan sebagai suplai air bersih perkotaan.

Pertanyaannya kini adalah bagaimana Presiden Jokowi merespon kelima tantangan ekonomi tersebut. Pertama, adalah dengan memahami dan memahamkan menteri-menteri ekonominya, bahwa diperlukan sebuah konsep pembangunan ekonomi yang tidak semata-mata ekonomi. Karena hingga sekarang, wacana kebijakan ekonomi berhenti di perpajakan, moneter, investasi, dan perdagangan. Kebijakan ekonomi perlu meluas dan terintegrasi kepada kebijakan sosial yang sangat terikat dengan ekonomi, yaitu kebijakan demografi, ketenagakerjaan, transportasi, dan nexus keamanan nasional. Pemahaman ini diperlukan untuk mengikis arogansi kementerian-kementerian ekonomi yang cenderung menjustifikasi respon kebijakan ekonomi dari sektor ekonomi semata-mata. Kita perlu kebijakan ekonomi yang beyond economics.

Kedua, memilih pendekatan yang lebih pragmatis daripada akademis. Karena pada dasarnya, seperti temuan guru manajemen dan ekonomi Peter F Drucker, pada saat ini teori-teori ekonomi sudah mengalami kemiskinan teori untuk dapat merespon problem faktual secara efektif. Selain itu, pendekatan akademik semata cenderung meminta ceteris-paribus yang tidak tersedia di dunia hari ini, sehingga kebijakan ekonomi meminta biaya yang mahal.

Jepang, Korea Selatan, China, Taiwan, hingga Singapura, adalah contoh negara-negara yang memilih pragmatisme yang pro-kepentingan nasional daripada akademisme yang tidak jelas berakar kepada kepentingan siapa. Ini bukanlah sindiran kepada akademisi ekonomi, namun undangan untuk merendahkan hati. Tapi ajakan untuk keluar dari keberadaannya sebagai makhluk hermit ekonomik, menjadi mahluk-mahluk sosial yang bersedia membangun pondasi-pondasi teori ekonomi yang bersambungan dengan teori sosial lainnya, plus teori eksakta, untuk merespon kepentingan nasional yang dalam beberapa waktu belakangan terbenam di balik kepentingan politik selebritis dan kegenitan akademis.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun