Fenomena premanisme yang semakin marak di ruang publik merupakan ancaman nyata terhadap ketertiban umum, stabilitas sosial, dan kepastian hukum di Indonesia. Tindakan intimidatif, pemalakan, penguasaan wilayah secara ilegal, hingga kekerasan oleh kelompok preman tidak hanya meresahkan masyarakat, tetapi juga berdampak buruk terhadap dunia usaha dan iklim investasi. Dalam konteks ini, pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Terpadu Pemberantasan Premanisme oleh pemerintah merupakan langkah konstitusional dan sah secara hukum yang patut diapresiasi dan didukung. Pembentukan Satgas ini memiliki legitimasi berdasarkan beberapa ketentuan hukum positif. Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum. Selain itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian juga memberikan wewenang kepada kepolisian untuk menjalankan fungsi tersebut. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap warga untuk mendapatkan perlindungan dari rasa takut, yang jelas terganggu oleh praktik premanisme. praktik ini dapat menghambat bagi pengembangan investasi dan ekonomi yang sedikit-sedikit meminta pungli di masyarakat.
Langkah pembentukan satgas ini juga sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020--2024, yang menempatkan peningkatan efektivitas penegakan hukum dan keamanan nasional sebagai prioritas pembangunan. Dengan demikian, keberadaan Satgas bukan hanya tindakan reaktif terhadap kejadian viral, melainkan bentuk pelaksanaan kebijakan strategis yang telah dirumuskan dalam perencanaan nasional yang jangka panjang. Secara teoritis, kebijakan ini dapat dianalisis melalui teori fungsionalisme struktural, yang melihat hukum sebagai instrumen integratif dalam masyarakat. Ketika terjadi kekosongan kontrol sosial akibat lemahnya penegakan hukum atas premanisme, negara dituntut untuk hadir melalui struktur yang mampu memulihkan stabilitas. Pembentukan Satgas adalah salah satu bentuk fungsi hukum sebagai penjaga keteraturan sosial.
Lebih lanjut, melalui pendekatan hukum yang responsif terhadap kebutuhan sosial, sebagaimana dipahami dalam teori hukum Philippe Nonet-Selznick, kehadiran Satgas merupakan respons negara terhadap persoalan nyata yang meresahkan masyarakat. Hukum dalam hal ini tidak semata menjadi aturan tertulis, tetapi harus mampu menjawab kebutuhan riil masyarakat atas rasa aman dan perlindungan. Dalam perspektif kriminologi, premanisme tergolong sebagai kejahatan jalanan (street crime) yang memiliki dampak luas, terutama secara psikologis. Masyarakat menjadi takut dan enggan melawan karena merasa tidak memiliki perlindungan hukum yang kuat. Oleh karena itu, negara wajib hadir dan bertindak tegas agar hukum tidak kehilangan legitimasi sosialnya.
Keterlibatan berbagai institusi seperti Polri, TNI, Kemenkumham, dan kementerian terkait lainnya dalam Satgas menunjukkan pendekatan kolaboratif yang dibutuhkan dalam menangani kejahatan sosial. Sinergi antarlembaga ini mencerminkan model tata kelola keamanan publik yang berbasis pada kerja sama lintas sektor, sesuai dengan prinsip cooperative governance dalam penegakan hukum modern. Dengan demikian, pembentukan Satgas Pemberantasan Premanisme merupakan langkah strategis, konstitusional, dan teoritis yang tepat. Tidak hanya menjawab kebutuhan hukum dan sosial saat ini, tetapi juga mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan negara dalam melindungi hak-hak dasar warganya. Kebijakan ini adalah manifestasi dari peran aktif negara dalam menjamin rasa aman sebagai bagian tak terpisahkan dari keadilan sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI