Hal ini terlihat dari beberapa scene hilangnya benda-benda yang membuat penduduk pulau itu mesti merelakan dan membuangnya agar tidak diburu oleh polisi kenangan. Jika, suatu benda yang sudah dinyatakan hilang ternyata masih disimpan, penduduk yang terlibat bisa diringkus satu keluarga.
 Ketika kamu membiarkan memorimu tergerus paksa seperti ini, suatu saat bukan hanya barang yang hilang, tapi juga dirimu.
Itu salah satu percakapan yang sayangnya samar-samar saya ingat dari tokoh R, sebagai manusia yang tak bisa melupakan benda yang hilang.
Sejak menyelesaikan buku ini saya jadi galau selama beberapa hari. Mencuci piring galau, melipat baju galau, sikat gigi galau, bobo ciang pun galau.
Kok bisa sih penulisnya kepikiran bikin semesta yang penuh teror begitu. Sistematika penghilangan memori pada rakyatnya terkesan nggak masuk akal pada awalnya. Tapi, makin lama berjalan, suasananya makin kentara oleh teror polisi kenangan yang suka seenaknya melakukan pemeriksaan mendadak, penangkapan, dan pembunuhan secara diam-diam.
Ngerik sih. Tapi kengerian begini bisa-bisanya ditulis dari sudut pandang tokoh utama yang lempeng dan tidak melakukan perjuangan. Satu-satunya hal menantang yang tokoh utama jalani adalah soal ia menyembunyikan kolega kerja, si R, yang tidak bisa melupakan benda yang hilang.
Ya, sudahlah. Sekian dulu.Â
NB: Artikel ini juga diposting di blog pribadi penulis di resensiriri.comÂ