Fenomena pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol) telah menjadi persoalan sosial yang serius di Indonesia. Di tengah tekanan ekonomi dan keterbatasan lapangan kerja, sebagian masyarakat mencari jalan pintas untuk bertahan hidup. Sayangnya, "jalan keluar cepat" itu justru membawa mereka ke dalam jerat utang dan kecanduan digital yang merusak.
Pemerintah memang telah berupaya menutup ribuan situs pinjol dan judol. Namun langkah ini ibarat memadamkan api di permukaan tanpa menyentuh bara di dasar. Selama akar masalah ekonomi masyarakat tidak terselesaikan dan literasi digital dan keuangan tetap rendah, situs-situs serupa akan terus bermunculan dengan wajah baru.
I. Krisis Sosial dan Moral di Balik Pinjol dan Judol
Meningkatnya kasus pinjol dan judol bukan hanya mencerminkan lemahnya pengawasan digital, tetapi juga menunjukkan adanya kegentingan sosial-ekonomi. Banyak masyarakat yang terdesak kebutuhan, dan akhirnya terjerumus ke pinjol dengan bunga mencekik serta penagihan yang terkadang tidak manusiawi.
Di sisi lain, judi online telah merampas banyak harapan dan masa depan. Dengan dalih hiburan, praktik ini menjerat korban melalui ilusi kemenangan dan keuntungan instan. Tak sedikit yang kehilangan pekerjaan, keharmonisan keluarga, hingga jatuh ke tindak kriminal akibat kecanduan berjudi di dunia maya.
Pinjol dan judol sejatinya dua sisi dari koin yang sama karena keduanya menawarkan kemudahan semu, tetapi berujung pada penderitaan nyata.
II. Menutup Situs Tanpa Edukasi Adalah Solusi Setengah Hati
Penegakan hukum dan pemblokiran situs memang penting, namun pendekatan semata-mata berbasis penindakan hanya menghasilkan efek sementara. Tanpa memperkuat daya tahan masyarakat, kebijakan tersebut akan menjadi lingkaran setan yang tak berkesudahan.
Masyarakat membutuhkan pendidikan finansial dan literasi digital yang komprehensif agar mampu mengenali, menolak, dan melindungi diri dari jebakan pinjol dan judol. Edukasi ini perlu dilakukan secara berjenjang dan berkelanjutan, mulai dari sekolah, kampus, rumah ibadah, hingga komunitas masyarakat.
Pemerintah harus melihat persoalan ini bukan hanya sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga krisis pengetahuan dan kesejahteraan.
III. Bangun Ketahanan Ekonomi dan Literasi Umat