Sistem merit dalam manajemen kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan fondasi penting dalam reformasi birokrasi yang bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang profesional, akuntabel, dan bebas dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam konteks ini, sistem merit menjadi acuan utama dalam seluruh proses manajemen ASN, mulai dari rekrutmen, pengembangan karier, mutasi, hingga pemberhentian, yang seharusnya berlandaskan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan pada kedekatan politik atau hubungan personal.
Hingga akhir tahun 2024, sebanyak 338 instansi pemerintah, yang mencakup sekitar 52,8%, telah berhasil meraih predikat Baik atau Sangat Baik dalam penerapan sistem merit. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh instansi telah berhasil mengurangi intervensi subjektif dalam manajemen ASN. Di antara pencapaian tersebut, Badan Kepegawaian Negara (BKN) memperoleh indeks merit sebesar 380, yang masuk dalam kategori sangat baik, berdasarkan penilaian dari Komisi ASN (KASN). Ini mencerminkan tata kelola internal yang ideal. Beberapa instansi daerah juga menunjukkan kemajuan, seperti Provinsi Riau yang meraih nilai 325,5 dan Pemerintah Kabupaten Tuban dengan nilai 305,5, keduanya mendapatkan penghargaan atas komitmennya dalam memperkuat manajemen ASN berbasis merit.
Namun, meskipun sistem merit telah diatur dalam UU No. 5/2014, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, terutama di tingkat daerah. Salah satu masalah utama adalah campur tangan politik dalam proses mutasi dan promosi. Kepala daerah yang berperan sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sering kali menggunakan kewenangan tersebut secara subjektif, dengan mempertimbangkan loyalitas politik atau kedekatan personal, alih-alih kualifikasi dan kinerja. Fenomena ini jelas mengganggu prinsip meritokrasi dan mencederai semangat profesionalisme ASN.
Selain itu, terdapat ketimpangan dalam kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur pendukung antar daerah. Banyak pemerintah kabupaten/kota yang belum memiliki sistem penilaian kinerja yang terstandar, database kompetensi ASN yang memadai, dan aplikasi sistem informasi kepegawaian yang terintegrasi. Akibatnya, proses rekrutmen dan penilaian kinerja masih bersifat manual dan cenderung subjektif. Dalam laporan KASN tahun 2023, dari total 694 instansi yang dinilai, lebih dari 40% masih berada dalam kategori "Buruk" atau "Kurang" dalam menerapkan sistem merit, dengan mayoritas berasal dari daerah tingkat II.
Penerapan sistem merit secara normatif telah diatur dalam berbagai regulasi nasional, dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 sebagai dasar utamanya. Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap proses dalam manajemen ASN harus dilakukan secara objektif, adil, dan profesional, serta menekankan pentingnya kualifikasi, kompetensi, dan kinerja sebagai dasar dalam seluruh keputusan kepegawaian.
Selanjutnya, Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010--2025 menempatkan penguatan sistem merit sebagai salah satu pilar utama reformasi. Regulasi ini menjelaskan bahwa birokrasi Indonesia harus beralih menuju sistem yang berbasis kinerja dan pelayanan publik. Dalam perjalanannya, berbagai kebijakan teknis seperti PermenPAN-RB No. 6 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Kinerja ASN telah dikeluarkan untuk memberikan pedoman teknis dalam penetapan SKP, evaluasi kinerja, dan pengembangan karier berbasis kinerja. Secara teoritis, sistem merit mengacu pada teori meritokrasi yang dikembangkan oleh Michael Young (1958), yang menekankan bahwa jabatan publik seharusnya diisi oleh individu berdasarkan prestasi dan kemampuan, bukan oleh keturunan, kekayaan, atau afiliasi politik. Dalam konteks organisasi publik, teori ini diperkuat oleh pandangan Max Weber tentang birokrasi rasional-legal, yaitu struktur organisasi yang dijalankan berdasarkan hukum, prosedur, dan kompetensi yang dapat diukur.
Untuk memperkuat penerapan sistem merit dalam manajemen kinerja ASN, diperlukan langkah-langkah konkret dan terukur, antara lain: (1) memperkuat independensi PPK agar promosi dan mutasi ASN tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik, melainkan berdasarkan kualifikasi dan kinerja; (2) memanfaatkan teknologi digital secara menyeluruh, seperti CAT, e-Kinerja, dan SIMPEG, untuk memastikan proses seleksi dan penilaian kinerja lebih objektif dan transparan; dan (3) meningkatkan pendampingan serta pelatihan bagi instansi daerah, khususnya yang masih memiliki indeks merit rendah. Dalam hal ini, BKN dan KASN harus aktif memberikan bimbingan teknis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI