PENDAHULUAN
Perubahan iklim kini menjadi ancaman nyata bagi Provinsi Riau. Indonesia bersama Brasil tercatat sebagai kontributor utama emisi dari deforestasi hutan tropis pada 2000-2005, menyumbang 55% emisi global. Riau menempati posisi krusial sebagai produsen kelapa sawit terbesar dengan luas perkebunan 3,40 juta hektare dan produksi 9,22 juta ton minyak sawit mentah pada 2023, atau 21,36% dari total produksi nasional. Dominasi industri sawit menjadikan Riau tulang punggung ekonomi regional, namun sekaligus menempatkan provinsi pada posisi rentan terhadap degradasi lingkungan yang masif.
Data emisi CO₂ di Riau periode 2015-2025 menunjukkan fluktuasi tajam. Tahun 2015 mencatat emisi tertinggi 103,38 juta ton, turun drastis hingga 2,49 juta ton pada 2022, namun kembali meningkat pada 2023-2024. Pola ini berkorelasi dengan kebakaran hutan yang mencapai puncak 279.939 hektare pada 2014, menurun menjadi 4.915 hektare pada 2022, tetapi naik bertahap hingga 18.831 hektare pada 2025. Fluktuasi ini sangat dipengaruhi oleh fenomena El Niño, kerentanan ekosistem gambut, dan konsistensi kebijakan pengendalian.
Lahan gambut Riau menjadi episentrum permasalahan emisi karbon. Konversi menjadi perkebunan sawit melalui drainase mengubah kondisi anaerobik menjadi aerobik, memicu oksidasi bahan organik yang melepaskan COâ‚‚ dan metana secara terus-menerus. Penelitian menunjukkan drainase untuk sawit meningkatkan emisi COâ‚‚ hingga 20 kali lipat dibandingkan hutan primer. Pembukaan lahan dengan pembakaran saat musim kering semakin memperparah situasi dengan menghasilkan emisi gas rumah kaca masif.
Industri pengolahan sawit di Riau menghasilkan limbah cair (POME) mencapai 2.500 liter per ton produksi. Sistem pengolahan konvensional dengan kolam terbuka memerlukan waktu 90-120 hari dan lahan 5-7 hektare, namun tetap menghasilkan emisi COâ‚‚ dan metana. Permasalahan ini semakin kompleks dengan pertumbuhan ekonomi Riau 2,91% pada 2019 dan urbanisasi Pekanbaru yang meningkat 4,15% selama 2010-2020, menciptakan tekanan tambahan terhadap sumber daya alam.
Pendekatan smart environment menawarkan solusi komprehensif melalui tiga komponen kunci. Pertama, sistem pemantauan real-time berbasis IoT dan satelit untuk deteksi titik panas dengan akurasi 85%. Kedua, pemanfaatan POME menjadi biogas yang memproduksi 0,65 meter kubik gas metana per kilogram bahan baku. Ketiga, platform tata kelola kolaboratif yang menciptakan sistem peringatan dini, terbukti menurunkan titik panas hingga 60%. Kerangka ini didukung program REDD+ dan moratorium konversi lahan gambut.
Implementasi smart environment di Riau diharapkan menekan kebakaran hutan hingga 20% dan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 90% melalui konversi POME. Platform tata kelola terintegrasi memperkuat akuntabilitas industri dengan dukungan Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 56 Tahun 2019 dan One Data Indonesia. Meski menghadapi tantangan infrastruktur digital dan biaya investasi Rp350-500 juta untuk biogas skala menengah, pendekatan ini menawarkan jalan strategis menjadikan Riau model industri kelapa sawit berkelanjutan yang berkontribusi positif terhadap mitigasi perubahan iklim global.
Â
KAJIAN TEORI
1. Smart Environment
Secara fundamental, smart city didasarkan pada inovasi teknologi yang memungkinkan pengelolaan sumber daya secara cerdas, pengurangan biaya operasional, dan peningkatan keterlibatan masyarakat dalam tata kelola kota. Terminologi ini mulai populer dalam dua dekade terakhir sebagai respons terhadap tantangan urbanisasi cepat, seperti kemacetan lalu lintas, polusi, dan ketidakefisienan energi, yang sering kali diperburuk oleh perubahan iklim global (Sofa, 2023).