Kegagalan redaksi dalam menyediakan ruang aman mendorong terjadinya spiral of silence atau spiral keheningan. Para jurnalis perempuan kerap enggan melaporkan kekerasan yang mereka alami karena takut dikucilkan atau merasa bahwa keadilan tidak akan berpihak kepada mereka. Dalam ruang redaksi yang masih didominasi oleh logika maskulin dan miskin empati gender, perempuan sering kali merasa sendiri, tidak dipercaya, dan tidak memiliki ruang aman untuk bersuara. Akibatnya, kekerasan yang mereka alami terpendam, tidak terdokumentasikan, dan terus berulang.
Lebih jauh lagi, spiral keheningan ini melanggengkan budaya diam yang sistemik. Ketika satu perempuan memilih diam, perempuan lain pun cenderung mengikuti, menciptakan lingkaran senyap yang sulit diputus. Diam menjadi mekanisme bertahan hidup, bukan pilihan bebas. Inilah yang membuat angka kekerasan terhadap jurnalis perempuan kemungkinan besar jauh lebih tinggi dari yang terlaporkan di survei atau laporan resmi.
Solusi bagi Represi
Harus diakui, kerentanan jurnalis perempuan merupakan isu yang kompleks. Banyak intrik struktural, budaya, hingga kebijakan yang saling bertaut bagai benang kisut. Budaya patriarki, ketimpangan representasi, serta absennya kebijakan redaksional yang sensitif gender menciptakan ekosistem kerja yang jauh dari aman. Faktor-faktor itu memperkuat satu sama lain untuk kian memperlemah para puan.
Lalu, apa solusinya?
Pertama, redaksi perlu mengadopsi kebijakan yang secara eksplisit berpihak pada keselamatan dan kesejahteraan jurnalis perempuan. Ini bisa dimulai dari menyusun silabus pelatihan preventif untuk pola ancaman berbasis gender, menghimpun penanganan kasus kekerasan berbasis gender tertulis secara formal, membentuk satuan tugas (satgas) keamanan jurnalis dengan kehadiran perspektif gender, hingga menyediakan jalur pelaporan yang aman, rahasia, dan tidak bias. Sebab, keamanan jurnalis bukan hanya tentang mitigasi risiko fisik, tetapi juga perlindungan terhadap hak mereka untuk bekarya tanpa rasa takut.
Kedua, penting untuk mendorong perwakilan perempuan yang masif dalam posisi pengambilan keputusan. Ketika lebih banyak perempuan berada di ujung tombak pemahat regulasi, suara dan pengalaman mereka tidak terpinggirkan. Representasi bukan semata soal angka, melainkan soal keberanian untuk mendefinisikan ulang standar, kebijakan, dan nilai-nilai jurnalistik agar lebih adil dan inklusif.
Terakhir, solidaritas lintas gender harus diperkuat melalui kesadaran perspektif gender. Tanggung jawab menciptakan ruang kerja yang aman sejujurnya bukan hanya tugas perempuan, tetapi kewajiban bersama. Rekan jurnalis laki-laki, redaktur, hingga manajemen media perlu menghempas privilese mereka dan ikut serta aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi kolega perempuan.
Selama dominasi maskulin masih menyembul di balik meja redaksi, jurnalis perempuan akan terus berjalan dengan rasa waswas.
Bukan, bukan karena mereka kurang tangguh, tetapi karena sistem tidak pernah benar-benar berpihak kepada perempuan.
Sebab, jurnalisme yang berpihak pada kebenaran hanya bisa lahir dari ruang kerja yang berpihak pada keadilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI