Padahal, Fransisca bukan satu-satunya pembawa acara dalam podcast tersebut. Namun hanya namanya yang dipilih sebagai target ancaman. Dalam perbincangan eksklusif dengan penulis, Fransisca mengaku bahwa ia menduga pemilihan namanya tak lepas dari identitasnya sebagai satu-satunya perempuan dalam tim. Teror itu bukan hanya bentuk intimidasi, melainkan pesan yang sarat makna simbolik bahwa keberadaan perempuan dalam ruang jurnalisme investigasi dipandang sebagai titik lemah yang lebih mudah diserang.
Biang Kerok: Lagi-Lagi Partriarki
Hingga 2024, jurnalis perempuan di Indonesia memberikan skor 8,55 terhadap tingkat risiko kekerasan dalam profesi jurnalistik. Angka ini lebih tinggi 0,35 poin dibanding skor yang diberikan oleh jurnalis laki-laki. Perbedaan ini mencerminkan adanya pengalaman kerja yang tidak setara, di mana perempuan cenderung menghadapi risiko yang lebih tinggi, baik dalam bentuk kekerasan verbal, pelecehan, maupun ancaman fisik. Skor tersebut bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari kondisi struktural yang terus bertahan di banyak ruang redaksi dan medan peliputan.
Lantas, apa sebenarnya akar penyebab kerentanan jurnalis perempuan?
Tak lain dan tak bukan: budaya patriarki.
Sistem beracun ini menempatkan laki-laki sebagai pusat otoritas dan mengecilkan peran perempuan sebagai sosok yang setara dalam masyarakat. Dalam bukunya The Second Sex, Simone de Beauvoir menggambarkan imaji sosial perempuan sebagai the Other, makhluk kelas dua yang keberadaannya selalu didefinisikan dalam relasi subordinat terhadap laki-laki. Di medan peliputan, jurnalis perempuan kerap dipandang sebagai sasaran empuk oleh pelaku kekerasan. Perempuan dianggap lemah, emosional, dan mudah ditekan, menjadikan mereka target yang lebih rentan untuk diintimidasi, dilecehkan, bahkan diserang secara fisik. Kekerasan yang mereka terima sering kali tidak hanya menyerang kapasitas profesional, tetapi juga merendahkan tubuh dan identitas mereka sebagai perempuan.
Di sisi lain, cara pandang patriarki juga meresap dalam sistem kerja media itu sendiri. Di ruang redaksi, jurnalis perempuan kerap diperlakukan secara tidak setara: mulai dari pembagian tugas peliputan yang bias gender, minimnya representasi dalam posisi pengambilan keputusan, hingga absennya perlindungan yang layak saat mereka menghadapi risiko kekerasan.
Akibat internalisasi sistem patriarki, liputan yang dianggap "serius" kerap bukan wilayah bagi jurnalis perempuan. Dalam dunia jurnalistik yang sejak lama didominasi oleh laki-laki, perempuan masih dianggap tidak cukup tangguh untuk menangani isu-isu berat seperti politik, hukum, atau konflik. Alhasil, mereka diisolasi meliput isu minor, seperti kecantikan, gaya hidup, dan seni. Penempatan ini bukan hanya membatasi ruang gerak profesional, tetapi juga secara tak langsung memperkuat stereotip bahwa kerja jurnalistik yang berisiko tinggi adalah domain maskulin.
Data dari Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 memperkuat fakta tersebut. Dalam survei itu, jurnalis laki-laki mendominasi peliputan isu politik (29%) dan hukum (21%). Angka ini menunjukkan kesenjangan yang cukup mencolok dibanding kolega perempuan mereka, yang porsi keterlibatannya di dua desk tersebut jauh lebih kecil. Sebaliknya, jurnalis perempuan paling banyak ditempatkan di desk ekonomi (28%) dan lifestyle (26%). Ironisnya, hanya 11% jurnalis laki-laki yang ditempatkan di desk lifestyle, menandakan pembagian peran yang masih kental bernuansa gender.
Ketimpangan representasi perempuan dalam posisi kepemimpinan berdampak langsung pada kerentanan jurnalis perempuan. Tanpa keterlibatan perempuan sebagai pengambil kebijakan, redaksi kerap gagal membangun mekanisme kerja yang berperspektif gender. Kebijakan menjadi buta terhadap pengalaman spesifik perempuan, terutama dalam menghadapi kekerasan berbasis gender. Akibatnya, ketika kekerasan atau pelecehan terjadi, penanganan yang diberikan cenderung tidak inklusif, minim empati, dan tak jarang justru menyalahkan korban. Ketimpangan ini tak hanya memperlebar jurang ketidaksetaraan, tetapi juga memperkuat stereotip bahwa perempuan adalah "beban" dalam peliputan, terutama ketika ancaman muncul.