Jangan jadi jurnalis, sih.
Ujar Lani Diana, jurnalis Majalah Tempo, diselingi tawa getir  di tengah obrolan kami.
Sebagai perempuan yang memutuskan untuk meniti karier di dunia jurnalistik, Lani tidak pernah menyangka bahwa idealismenya akan berada di persimpangan. Tujuh tahun lalu, ia begitu yakin dengan lajur hidupnya. Namun, keyakinannya mulai goyah, terutama ketika  mendapat ancaman dari Hercules, raja jaringan preman Tanah Abang. Rangkaian liputan Lani mengenai penguasaan lahan ilegal oleh organisasi massa pimpinan Hercules, Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya (GRIB), membuahkah sebuah panggilan telepon dari Hercules. Sang raja GRIB mengancam akan "meratakan" kantor berita tempat Lani bekerja, usai liputannya dipublikasi di laman Tempo.
Lani hanyalah satu dari sekian banyak contoh kerentanan yang dialami jurnalis perempuan di Indonesia. Kekerasan, ancaman, teror, hingga pelecehan menjadi bagian dari realitas harian yang mereka hadapi.
Jurnalis Perempuan dan Risiko Berlipat Ganda
Profesi jurnalis di Indonesia telah lama menjadi lahan yang didominasi oleh laki-laki. Data dari 2012, menunjukkan bahwa perempuan hanya mencakup 25% dari total jurnalis di Indonesia, dengan rasio 1:4 terhadap laki-laki. Meski telah berlalu lebih dari satu dekade, tren itu belum berubah signifikan. Dalam Indeks Keamanan Jurnalis 2024 yang disusun oleh Populix, dari 760 jurnalis yang menjadi responden di seluruh Indonesia, hanya 29% yang berjenis kelamin perempuan. Angka ini mencerminkan bagaimana perempuan masih menjadi minoritas dalam ruang redaksi.
Posisi perempuan sebagai minoritas dalam praktik jurnalisme ibarat efek domino. Status "minoritas" tersebut memicu serangkaian kerentanan berbasis gender beruntun yang terus bergulir di lapangan. PR2Media, pada 2021, mencatat bahwa 85% jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan selama menjalankan tugas jurnalistik. Bentuk kekerasan yang paling umum adalah kekerasan verbal, termasuk ujaran seksis dan catcalling, yang dialami oleh 59% dari mereka. Hal ini divalidasi oleh Indeks Keamanan Jurnalis 2024 yang disusun Populix. Dalam survei tersebut, sebanyak 23% responden perempuan mengaku  pernah mengalami kekerasan, persentase yang lebih tinggi dibanding jurnalis laki-laki.
Pola ancaman yang dihadapi jurnalis perempuan terbukti berbeda dari kolega mereka yang berkromosom XY. Memang, risiko pekerjaan senantiasa mengintai siapa pun yang memilih jalan jurnalistik. Namun, identitas gender terbukti menjadi faktor yang memperparah tingkat kerentanan jurnalis perempuan. Salah satu buktinya adalah kasus pelecehan seksual, yang secara eksklusif hanya dilaporkan oleh 12% jurnalis perempuan. Fakta ini menegaskan bahwa selain lebih sering menjadi sasaran kekerasan, jurnalis perempuan juga menghadapi bentuk kekerasan yang spesifik dan tidak dialami oleh rekan laki-lakinya.
Tak hanya identitas gender, isu-isu yang diliput oleh jurnalis perempuan turut melipatgandakan tingkat risiko yang mereka hadapi. Ketika narasi yang mereka singgung menyentuh kepentingan elite, identitas jurnalis perempuan sering kali menjadi medan pertama yang diserang. Serupa dengan Lani yang mendapat ancaman dari Hercules usai meliput GRIB, koleganya, Fransisca Christy, juga menjadi sasaran teror akibat liputan sensitif.
Â
Fransisca merupakan salah satu host podcast "Bocor Alus Politik" milik Tempo yang kerap membongkar dinamika kekuasaan di balik panggung politik nasional. Dalam salah satu episodenya, ia mengangkat isu panas mengenai aktor-aktor di balik revisi Undang-Undang TNI, tema yang jelas bersinggungan dengan kekuasaan militer dan elite politik. Beberapa waktu sebelum shooting mengenai revisi UU TNI, sebuah paket mencurigakan dikirim ke kantor Tempo: kepala bangkai babi, lengkap dengan namanya tertera sebagai penerima.