Mohon tunggu...
Rifaat zulkarnain
Rifaat zulkarnain Mohon Tunggu... Pelajar

Membaca dan menulia

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Tradisi Ogoh-ogoh di pulau Dewata

1 September 2025   16:10 Diperbarui: 29 Agustus 2025   09:24 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halo Lokal. Sumber ilustrasi: PEXELS/Ahmad Syahrir

Ogoh-ogoh adalah sebuah patung raksasa yang buat oleh masyarakat Bali sebagai simbol Bhuta Kala dan merupakan bagian dari tradisi menjelang Hari Raya Nyepi. Bhuta Kala sendiri melambangkan kekuatan alam semesta dan waktu yang tak terbatas, serta sifat-sifat negatif dalam diri manusia

Sebutan Ogoh-ogoh itu sendiri di ambil dari bahasa Bali yang artinya sesuatu yang di goyang-goyangkan. Pada tahun 1983 merupakan bagian penting dalam sejarah Ogoh-ogoh di Bali. bagi orang awam Ogoh-ogoh adalah Boneka Raksasa yang di arak keliling desa pada saat menjelang malam sebelum Hari Raya Nyepi (ngerupukan) yang di iringi dengan gamelan Bali yang di sebut bleganjur, kemudian di bawa ke satu tempat untuk di bakar Masih merujuk pada situs Kabupaten Badung, sejarah ogoh-ogoh bermula sejak zaman Dalem Balikang. Ada berbagai pendapata yang menyebut tentang awal mula ogoh-ogoh, ada yang mengatakan mulanya ogoh-ogoh digunakan untuk upacara pitra yadnya. Ada juga yang mengatakan tradisi ogoh-ogoh berawal dari tradisi Ngusaba Ngong-Nging yang ada di desa Selat, Karangasem. Pendapat lain juga ada yang menyatakan ogoh-ogoh muncul karena barong landung yang merupakan wujud dari Raja Jaya Pangus dan Putri Kang Cing Wei (suami istri) yang memiliki wajah buruk dan menyeramkan dan saat itu pula munculnya ogoh-ogoh.

Awal dasawarsa 2010-an, ogoh-ogoh yang semula dibuat dari jalinan bambu atau rotan, akhirnya mulai banyak yang dibuat dari stirofoam dengan alasan kemudahan. Atas pertimbangan kesehatan, sejak 2015 pemerintah daerah Bali "melarang" pemanfaatan stirofoam pada proses pembuatan ogoh-ogoh,dan banyak perlombaan ogoh-ogoh yang melarang pemakaiannya.

Musik dengan pengeras suara atau sound system juga mulai dilarang untuk mengiringi pawai ogoh-ogoh, karena dinilai tidak menampilkan kebudayaan Bali. Pemerintah dan lembaga adat menganjurkan agar pawai ogoh-ogoh tetap menggunakan gamelan baleganjur, yang juga biasa dipakai mengiringi arak-arakan kegiatan adat di Bali. Selan itu, gamelan dinilai lebih menampilkan budaya Bali, serta meningkatkan taksu atau karisma ogoh-ogoh yang diarak. 

Pertengahan dasawarsa 2010-an, inovasi tradisi ogoh-ogoh ditandai dengan penggarapan ogoh-ogoh yang digerakkan mesin. Tahun 2016, kelompok pemuda-pemudi di kelurahan Panjer, Denpasar Selatan berinovasi melalui penciptaan ogoh-ogoh "bergerak" yang dikendalikan dengan ponsel pintar, dan dihubungkan dengan sistem Bluetooth.Tahun-tahun berikutnya, sejumlah banjar di Depasar berinovasi dalam pembuatan ogoh-ogoh yang dapat digerakkan mesin, serta mengedepankan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Denpasar Utara melakukan inovasi penciptaan ogoh-ogoh yang dapat rebah dan berdiri dengan memanfaatkan sistem hidrolik.Dalam berproses, sejumlah banjar dapat menggelontorkan dana mencapai puluhan juta rupiah, serta melibatkan mahasiswa teknik dalam penggarapan ogoh-ogoh berteknologi mutakhir.Banjar dengan ogoh-ogoh inovatif pun kerap mengikuti perlombaan di tingkat kota.

Saat memasuki tahun politik 2019, pemerintah daerah tidak melarang pembuatan ogoh-ogoh di Bali, tetapi meregulasi agar tidak ada pembuatan ogoh-ogoh yang dinilai mengandung unsur politik. Lomba ogoh-ogoh pun tetap diadakan pada tahun tersebut. 

Dalam perkembangannya—terutama pada dasawarsa 1990-an dan 2000-an—banyak bentuk ogoh-ogoh yang mencari referensi kepada budaya dan isu populer pada masa tersebut, atau dibuat menyerupai tokoh masyarakat, seperti selebritas, politikus, bahkan narapidana. Dalam perlombaan yang lebih konservatif, komunitas pembuat ogoh-ogoh secara tidak langsung diharuskan untuk menggali cerita Hindu dan Bali untuk diangkat sebagai inspirasi ogoh-ogoh. Namun kreativitas masyarakat Bali tidak lepas dari pantauan pemerintah dan lembaga adat. Mereka memantau ogoh-ogoh yang dibuat masyarakat, serta melarang ogoh-ogoh yang dinilai mengandung unsur SARA dan politik.Pada tahun-tahun politik dasawarsa 1990-an dan 2000-an, tradisi pengarakan ogoh-ogoh pernah dilarang oleh pemerintah daerah.Meskipun demikian, beberapa komunitas masyarakat tetap membuatnya tetapi tidak seramai tahun-tahun yang lain, atas pertimbangan bahwa ogoh-ogoh merupakan tradisi dan kreativitas yang tersalurkan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun