Kepastian hukum dalam perpajakan bukan hanya soal aturan tertulis (lex scripta), tetapi juga tentang menghadirkan keadilan substantif dan manfaat nyata bagi masyarakat. Pasal 1 UU No. 28/2007 menegaskan bahwa pajak merupakan bentuk kontribusi wajib masyarakat yang bersifat memaksa kepada negara sebagai upaya untuk mendukung negara melaksanakan tugas mengupayakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari rumusan tersebut, dua prinsip utama yang perlu disoroti adalah: (i) kontribusi wajib masyarakat; dan (ii) sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa pajak sejatinya merupakan kontrak sosial antara negara dengan rakyat dan bukan sekadar kewajiban administratif ataupun kewajiban sepihak semata.
Sayangnya, dalam praktik, tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang hanya memiliki pengetahuan akan kewajiban untuk membayar pajak, namun kurang memiliki pengetahuan akan manfaat dari kewajiban yang mereka lakukan. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Agustus 2022 bahkan mencatat sekitar 44,9 persen masyarakat mengaku “kurang paham” atau bahkan “tidak paham” mengenai manfaat dari pajak yang mereka bayarkan. Itulah kenapa, guna menciptakan keseimbangan penerimaan negara yang berkelanjutan, penulis berpendapat bahwa pemerintah harus memiliki kemampuan untuk merubah persepsi masyarakat terhadap pajak dari yang semula merupakan “kewajiban yang membebani” menjadi “kontribusi bersama”.
Pertanyaan “Uang pajak rakyat: ke mana dan untuk apa?” dapat muncul akibat dua tantangan utama yakni kurangnya informasi yang diterima dan kurangnya keadilan yang dirasakan oleh rakyat.
Selama ini salah satu upaya yang paling sering digencarkan oleh pemerintah guna mendorong penerimaan negara adalah dengan memberikan narasi edukatif seperti “bangga bayar pajak’, “ayo bayar pajak!”, dan lain sebagainya. Namun, upaya tersebut sejatinya tidaklah cukup untuk mendorong penerimaan negara maupun mengatasi kedua tantangan yang sebelumnya telah disebutkan. Penulis berpendapat apa yang sebenarnya dibutuhkan adalah kontrak di mana negara menunjukkan manfaat yang nyata dari pajak melalui proses yang benar; dan wajib pajak kemudian merespons dengan memberikan kepatuhan untuk berkontribusi secara sukarela dan berkelanjutan.
Membangun Citra Positif Pajak Demi Mendorong Penerimaan Negara dan Pertumbuhan Ekonomi
Sebagai upaya untuk membangun citra positif kewajiban pajak, pemerintah perlu mengkaji ulang layanan pemberitahuan penggunaan pajak kepada masyarakat (terutama wajib pajak). Bagaimanapun, transparansi pemanfaatan pajak merupakan kunci dalam mendorong penerimaan pajak sekaligus membangun citra positif “pajak sebagai kontribusi bersama”. Sebagai contoh, melansir dari Australian Taxation Office (ATO), Australia secara aktif mengirimkan laporan yang berisi alokasi pajak kepada warganya dalam bentuk Tax Receipt setiap tahunnya (misalnya: 25% pendidikan, 20% kesehatan, 15% infrastruktur). Hal serupa juga telah diterapkan di Inggris melalui Annual Tax Summary (ATS), dan Amerika Serikat melalui The Federal Taxpayer Receipt.
Apabila merefleksikan gagasan tentang kontrak sosial, penulis percaya bahwa penerapan langkah yang dilakukan negara-negara tersebut di Indonesia dapat meningkatkan tingkat “kesukarelaan” masyarakat Indonesia dalam membayar pajak. Dengan demikian, pertanyaan “Uang Pajak Rakyat: Ke Mana dan Untuk Apa?” sejatinya dapat dijawab dengan langkah pemerintah yang sebaiknya menyederhanakan cara penyajian informasi dengan cara yang lebih komunikatif.
Menuju Penerimaan Berkelanjutan: Dua Terobosan Transparansi Pajak
Terciptanya kepatuhan pajak yang berkelanjutan memerlukan perbaikan yang mampu menjawab persoalan kurangnya pemahaman masyarakat dan lemahnya rasa keadilan dalam pengelolaan pajak. Dalam hal ini, terdapat dua langkah yang penulis rekomendasikan guna terciptanya kontrak yang sehat antara negara dan wajib pajak serta masyarakat.
Pertama, inovasi komunikasi publik yang komunikatif perlu diwujudkan dalam penyampaian informasi pajak. Dibandingkan dengan Australia, Inggris, maupun Amerika Serikat, laporan alokasi pajak di Indonesia selama ini masih disajikan dalam bentuk laporan resmi dan/atau laman pemerintah yang panjang, teknis, dan berbahasa formal-akademis yang sesungguhnya sulit dimengerti oleh masyarakat awam. Transparansi yang diharapkan oleh pemerintah akhirnya gagal mencapai tujuannya karena masyarakat tidak merasa terhubung dengan data yang sulit dipahami tersebut. Terobosan yang diusulkan adalah menyederhanakan format dan bahasa laporan penggunaan pajak agar lebih komunikatif, misalnya melalui infografik, video edukatif singkat, maupun simulasi alokasi per setiap Rp1 juta pajak yang dibayarkan. Pemerintah sebaiknya menyampaikan data penggunaan anggaran beserta capaian pembangunannya dalam bahasa yang jelas dan mudah dipahami--yang sekaligus mendukung Hak Wajib Pajak sebagaimana tercantum dalam Piagam Wajib Pajak.
Kedua, pelibatan aktif masyarakat dalam proses perencanaan dan evaluasi anggaran perlu ditingkatkan guna menjawab tantangan aspek keadilan. Selama ini, mekanisme partisipasi publik seperti musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) sebagaimana amanat Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 memang sudah ada. Namun, partisipasi masyarakat tersebut seringkali hanya berupa formalitas dan belum optimal memberi kontribusi terhadap pengelolaan anggaran. Terobosan yang diusulkan adalah memperkuat nilai partisipatif di mana wajib pajak dan perwakilan masyarakat dilibatkan secara sungguh-sungguh dalam menentukan prioritas penggunaan dana hasil pajak. Sebagai contoh, pemerintah daerah dapat menyisihkan sebagian anggaran yang alokasinya diputuskan melalui voting, sehingga masyarakat dapat langsung menentukan proyek pembangunan apa yang paling dibutuhkan di daerahnya. Keterlibatan masyarakat sejak tahap perencanaan semacam ini akan meningkatkan kesesuaian program pemerintah dengan kebutuhan nyata di lapangan dan menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) atas hasil pembangunan yang ada.