Tahun 2018, menjadi catatan buruk bagi kinerja perdagangan internasional Indonesia. Bagaimana tidak? defisit neraca perdagangan Indonesia terjun bebas ke titik terendah sepanjang sejarah. Capaian ekspor tahun lalu sebesar US$ 180,06 miliar atau hanya tumbuh 6,65%, jauh dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 11%.Â
Sementara, nilai impor mencapai US$ 188,63 miliar atau naik 20,15% dari tahun sebelumnya. Alhasil, defisit sebesar US$ 8,57 miliar ini melampaui nilai terendah yang pernah dialami pada 2013 sebesar US$ 4,06 miliar.
Berbagai dalil menyebut kondisi ini terjadi akibat faktor eksternal, seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi global maupun pengaruh perang dagang antara Cina dan Amerika. Namun, jika mau menyelisik lebih dalam, kondisi ini sebenarnya membuktikan bahwa kinerja perniagaan negara ini tidaklah optimal, utamanya ekspor.
Eskpor Indonesia sejatinya mampu menghasilkan kinerja perdagangan yang positif guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, selama ini performa ekspor kita masih mengandalkan komoditas primer seperti crude palm oil (CPO), bahan bakar mineral, maupun minyak dan gas dengan kontribusi sekitar 30% terhadap total nilai ekspor.Â
Padahal pada prakteknya, komoditas tersebut sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga dan permintaan internasional. Sehingga ketika harga CPO turun drastis seperti tahun lalu dan nilai ekspor CPO Indonesia anjlok hingga -11,3%, maka nilai defisit neraca perdagangan menjadi begitu lebar.
Hal ini mestinya menjadi perhatian serius bagi kita untuk mulai fokus mengembangkan sektor unggulan lainnya yang berpotensi besar meningkatkan kinerja ekspor secara optimal.Â
Pemerintah pun mulai tahun ini telah memilih delapan sektor industri yang akan menjadi andalan baru ekspor Indonesia diantaranya sektor industri otomotif, tekstil dan produk tekstil (TPT), produk kimia, elektronik, makanan dan minuman, permesinan, furnitur, serta perikanan. Dari kedelapan sektor tersebut yang masih sangat leluasa untuk dikembangkan dan mampu memberi nilai ekspor yang signifikan yakni sektor perikanan.
Sebagai negara kepulauan dan bahari terbesar di dunia, Indonesia sejatinya memiliki potensi perikanan terbesar di dunia. Sayangnya, hingga kini potensi tersebut masih belum banyak dimanfaatkan.Â
Hingga tahun 2016, pemanfaatan potensi lestari dari sumberdaya ikan di laut baru mencapai 49% atau 6,11 juta ton ikan dari hasil tangkapan. Sementara pemanfaatan potensi budidaya ikan hanya 7% dari 17,20 juta ha lahan potensial yang ada, dengan produksi sebesar 16,68 juta ton. Dari capaian tersebut, kontribusi terhadap nilai ekspor nasional hanya 2,87% atau sebesar US$ 4,17 miliar, dimana andil terbesar berasal dari komoditas udang, disusul tuna, cumi-sotong-gurita, dan lainnya (KKP, 2016).
Dengan mengembangkan potensi yang belum banyak tergarap tersebut, diyakini sektor perikanan mampu meningkatkan kinerja ekspor secara optimal. Sebagai gambaran betapa dahsyatnya potensi nilai ekspor sektor perikanan, misalnya dari usaha budidaya udang.Â
Jika kita estimasi untuk usaha tambak udang vaname secara intensif sekitar 500.000 ha dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun, maka bisa diproduksi 20 juta ton/tahun. Dengan harga udang on-farm rata-rata US$ 5/kg, bisa dihasilkan US$ 100 miliar/tahun.Â
Bila diekspor setengahnya saja, maka kita akan menghasilkan devisa US$ 50 miliar/tahun, lebih unggul dari nilai ekspor CPO (US$ 20,34 miliar), bahan bakar mineral (US$ 24,60 miliar), maupun minyak dan gas (US$ 17,40 miliar) (Kemendag, 2018).
Upaya PengembanganÂ
Agar sektor perikanan benar-benar mampu meningkatkan kinerja ekspor secara optimal, maka permasalahan klasik seperti buruknya daya saing produk, kualitas SDM, akses permodalan, akses pasar, dan iklim usaha perlu segera dibenahi. Upaya ini mesti didukung seluruh komponen usaha baik pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat lainnya untuk saling bersinergi satu sama lain.
Sejumlah langkah strategis yang bisa dilakukan diantaranya. Pertama, peningkatan daya saing produk perikanan nasional melalui peningkatan mutu sesuai standar internasional dengan sertifikasi.Â
Kedua, pemberdayaan SDM diseluruh komponen usaha perikanan melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan pengawasan. Ketiga, peningkatan investasi secara signifikan dan berkesinambungan, diantaranya melalui skema pendanaan perbankan yang sesuai karakteristik perikanan, kemudahan berinvestasi bagi investor dalam dan luar negeri, maupun pemanfaatan dana hibah.
Keempat, pendekatan diplomasi secara intensif dengan negara mitra ekspor komoditas perikanan Indonesia untuk mengurangi hambatan perniagaan seperti beban tarif dan non-tarif yang lebih memberatkan dibanding dengan beberapa negara pesaing. Kelima, percepatan pembangunan infrastruktur pendukung yang mampu memenuhi keberlangsungan usaha perikanan hingga ekspor, seperti energi listrik, air bersih, jalan, telekomunikasi, pelabuhan, bandara, dll.Â
Dan Keenam, penciptaan iklim usaha perikanan (fiskal, perbankan, moneter, perizinan, keamanan, konsistensi kebijakan, kepastian dan keadilan hukum, dan lainnya) yang sehat dan kondusif.
Melalui langkah-langkah strategis diatas, diharapkan sektor perikanan tak hanya mampu meningkatkan kinerja ekspor secara optimal dan berkelanjutan, tapi juga mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi, menyediakan lapangan kerja dalam jumlah signifikan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.