Mohon tunggu...
Reza Syariati
Reza Syariati Mohon Tunggu... profesional -

Sepah e pazdaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggugat "Mitos" Sumpah Pemuda

28 Oktober 2013   22:13 Diperbarui: 28 Oktober 2015   14:56 2630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isi dan kandungan putusan Kerapatan Pemuda 1928 yang akhirnya disebut sebagai Sumpah Pemuda tersebut tak lepas dari dekonstruksi sejarah yang dilakukan oleh Mohammad Yamin. Pakar hukum lulusan Recht Hogeschool (RHS) ini memang memainkan peranan penting dan dekonstruksi sejarah Indonesia. Yamin merupakan kampiun narasi dan “sejarahwan rezim Soekarno” dan atas usulan dan ide-idenya tentang Sumpah Pemuda kepada Soekarno. Sehingga Soekarno begitu leluasa menggunakan jargon-jargon tersebut untuk melemahkan politisi sipil di Konstituante, menyentil pembangkangan daerah yang sebenarnya legal dan konstitusional dan meletakkannya mereka sebagai “pengkhianatan” kepada Republik.

Mohammad Yamin, memang sosok kontroversial dalam konstruksi sejarah Indonesia. Benedict Anderson menulis bahwa tak ada satu orang pun yang bisa mengontrol Yamin. Orang ini keras kepala, sembarangan, menjengkelkan dan dibiarkan saja semau sendiri. Zaman itu tak ada yang peduli soal campur aduk fakta dan fiksi. Ia dianggap tak sepenting soal revolusi melawan Belanda. Yamin menerbitkan sandiwara Gadjah Mada pada 1946. (Anderson, 2006). Asvi Warman Adam menilai, Yamin adalah seorang ahli propaganda (Adam, 2010, pp. 165-179). Progandis rezim Soekarno yang menyediakan berbagai keperluan rezim “kebalikan Mephistopeles – meminjam “cemooh” Bung Hatta – untuk membenarkan segala tindakan politiknya dalam melawan konstituante dan dominasi partai politik di Konstituante.

Evolusi Teks Putusan Kerapatan Pemuda 1928

Keith Foulcher menjelaskan adanya tafsir-tafsir ideologis-politis terhadap Sumpah Pemuda pada masa kolonialisme, Orde Lama, dan Orde Baru. Evolusi teks Sumpah Pemuda tersebut merupakan Tafsir-tafsir yang muncul dengan sekian dalil dan pamrih mengacu pada kondisi politik dan arus kesadaran sejarah.

Pada versi 1928, kalimat "Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia." Kalimat itu kerap mengalami perubahan semantik dan konsekuensi politik. Kalimat tersebut sering dirubah-ubah menjadi: "Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia." (Foulcher, 2000). Perubahan kalimat itu merepresentasikan kesengajaan dalam pengendalian ingatan historis dan politis. Folcher menjelaskan hal ini dalam konteks “bahasa” sebagai simbol komunikasi politik mengalami reduksi dalam konteks pemaknaan dan implikasi. Disinilah, hasil kerapatan pemuda 1928 yang mengandung semangat zaman dan imaji nasionalisme malah menjadi instrumen kekuasaan dan pembungkaman aspirasi politik.

Lebih lanjut Keith Foulcher, menegaskan formulasi teks Sumpah Pemuda tersebut sebagai realisasi kesatuan tanpa kompromi oleh kepentingan rezim Orde Baru dalam mekanisme sentralisasi dan kontrol. Formula "satu bahasa" itu menjadi kunci untuk operasionalisasi politik bahasa versi Orde Baru. Foulcher menilai perubahan kata itu masuk perkara simbol dan makna nasionalisme. (Foulcher, 1990)

Mengapa kata “Sumpah” menggantikan kata “Ikrar” dalam hasil putusan kerapatan pemuda 1928? Hal ini merupakan salah satu metode penguasa untuk mencari legitimasi kekuasaannya. Dhakidae dalam pengantarnya di buku “Imagined Community” menjelaskan adanya sebuah Holy Trinity dalam wacana politik kekuasaan di Indonesia. Menurut Dhakidae, Holy Trinity tersebut yang terdiri dari bangsa, tanah air dan bahasa, menjadi un-holly trinity.

“Satu bahasa” tidak lagi dengan sendirinya mengharuskan Indonesia menjadi satu bangsa, satu tanah air tidak dengan sendirinya mengharuskannya jadi “satu bangsa”. Dengan demikian, lanjut Daniel, bangsa-bahasa dan tanah air seolah-olah melibatkan dirinya dalam satu perang besar Hobbesian — Bellum omnium contra omnes, perang semua terhadap semua orang, sebegitu rupa sehingga bangsa mencair, rasa kebangsaan menciut bahkan sirna sekaligus. Realitas kebangsaan yang demikian itu sekarang tentu harus menjadi keprihatinan bersama. Memang sungguh sangat ironis, sebuah bangsa yang besar ini hanya terbangun secara imajiner yang direpresentasikan oleh bahasa sumpah. Yang mana inti sumpah ini sendiri pada awalnya mempunyai tujuannya yang temporer yakni melawan imperialisme.” (Dhakidae, 2001)

Dalam teks aslinya, hasil kerapatan pemuda 1928 tersebut berbunyi sebagai berikut:

POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA

Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Sumatranen Bond (Pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen Pasoendan, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun