Mohon tunggu...
Reza Syariati
Reza Syariati Mohon Tunggu... profesional -

Sepah e pazdaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggugat "Mitos" Sumpah Pemuda

28 Oktober 2013   22:13 Diperbarui: 28 Oktober 2015   14:56 2630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era orde baru, teks Sumpah Pemuda kembali digubah, dengan merubah kata “bangsa” kembali menjadi “tanah air”, kata “Sumpah” tetap digunakan, sebab saat itu Soeharto menggunakan Sumpah Pemuda sebagai instrumen pengendalian emosi politik. (1) Mengaku Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia; (2) Mengaku Bertanah Air Satu, Tanah Air Indonesia; (3) Mengaku Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia.

Kemudian pada tahun 1988, saat peringatan 60 tahun Sumpah Pemuda, sebuah teks gubahan Sumpah Pemuda beredar dalam bentuk kaos. Sebuah perlawanan gerakan mahasiswa yang sudah tumbuh saat itu terhadap rezim otoriter Soeharto. Teks tersebut berbunyi (1) Kami Mahasiswa Indonesia Mengaku Bertanah Air Satu, Tanah Air Tanpa Penindasan; (2) Kami Mahasiswa Indonesia Mengaku Berbagsa satu, Bangsa yang Gandrung akan Keadilan; (3) Kami Mahasiswa Indonesia Mengaku Berbahasa Satu, Bahasa Kebenaran. Teks ini menjadi salah satu battle cry pada berbagai aksi demonstrasi mahasiswa sejak 2008 sampai saat ini.

Pasca reformasi, Sumpah Pemuda kembali menjadi salah satu instrumen kekuasaan dan indoktrinisasi. Entah bagaimana dan memang sulit dijelaskan, Sumpah pemuda menjelma menjadi sesuatu yang kramat dan sakral, dan di luar akal sehat menjadi dalih bagi pembungkaman aspirasi daerah terhadap hegomoni Jakarta, terutama di luar jawa. Bahkan menjadi alasan bagi jargon baru dalam emosi politik, NKRI Harga Mati. Hal ini ditemukan pada sebuah pamflet anonym yang pernah diperoleh penulis dalam satu kesempatan. (1) Kami Putera-Puteri Indonesia Mengaku Bertanah Air Satu, Tanah Air Indonesia; (2) Kami Putera-Puteri Indonesia Mengaku Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia; (3) Kami Putera-Puteri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia; (4) Kami Putera-Puteri Indonesia Berideologi Satu, Ideologi Pancasila; (5) Kami Bersatu Mengembalikan Konstitusi Kepada UUD 1945 yang Asli.

Desakralisasi Sumpah Pemuda

Ada sesuatu yang lebih radikal dibandingkan Sumpah Pemuda tersebut. Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia, sebuah gerakan pemuda yang lebih radikal daripada para “anak-anak priyayi” yang sekolah di Batavia. Lahirnya pernyataan asas-asas Perhimpunan Indonesia tahun 1925 disebutkan oleh Sartono Kartodirdjo, sebagai Manifesto Politik 1925. Perhimpunan Indonesia, yang telah dipersiapkan sejak tahun 1923 itu dengan Mohammad Hatta sebagai penggerak utamanya. Menurut ahli sejarah ini, Sumpah Pemuda 1928 merupakan pengumandangan (amplification) dimensi-dimensi Manifesto Politik 1925 ini. Dari pernyataan Perhimpunan Indonesia tahun 1923 dan tahun 1925 itu, dapat ditarik hakikat Manifesto itu: (1) perjuangan memperoleh otonomi, mencapai kemerdekaan Indonesia; (2) pemerintahan yang dipegang dan dipilih oleh bangsa Indonesia sendiri; (3) kesatuan sebagai syarat perjuangan mencapai tujuan; dan (4) menolak bantuan dari pihak penjajah atau pihak lain manapun. (Kartodirdjo, 1993). Kartodirjo dengan panjang lebar menjelaskan Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia jauh lebih radikal daripada Kerapatan Pemuda “priyayi” 1928. Kartodirdjo menyebut Manifesto 1925 itu lebih penting daripada Sumpah Pemuda. Ini karena di dalamnya terdapat tiga prinsip dasar unity (persatuan), fraternity (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan) konsep yang menginspirasi dari semangat revolusi Prancis liberte-egalite-fraternite (Kartodirdjo, 1993).

Sartono Kartodirdjo menegaskan posisinya mendukung Manifesto Politik yang menurutnya berhasil merumuskan nasionalisme Indonesia sebagai Ideologi. Bagi Sartono, Manifesto itu akan mengarahkan gerakan-gerakan etno-nasionalisme menjadi gerakan ke arah Indonesia merdeka, jadi konsep kesatuan telah roh spiritualitas kesukuan dan regionalisme. Sartono juga mempertanyakan mengapa sampai sekarang yang diperingati secara nasional adalah “Sumpah Pemuda” dan bukan Manifesto Politik 1925, padahal konsep-konsep dalam pernyataan Perhimpunan Indonesia itu lebih fundamental bagi nasionalisme sedangkan Sumpah Pemuda dapat dianggap sebagai sebuah pelengkap saja dari Manifesto Politik 1925. (Kartodirdjo, 1993).

Sartono tidak sendirian, banyak pemikiran tokoh yang menggugat sakralisasi Sumpah Pemuda yang tak lebih dari instrumen pengendalian ingatan politik. Seolah-olah segala sesuatu yang berbau mempertanyakan kembali hegemony Jakarta terhadap daerah dianggap sebagai pelanggaran dan bahkan pengkhianatan pada Sumpah Pemuda.

Penutup

Sejarah ditulis oleh pemenang” demikian quote terkenal dari Winston Churchill; dan memang begitulah yang terjadi. Sakralisasi “Pesatuan dan Kesatuan” telah memenangkan pertarung kesadaran dan ingatan politik sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan sakralisasi dengan akronim “Sumpah” yang dibuat dengan sengaja dan sadar oleh progandis sekaliber M. Yamin, Soekarno memiliki amunisi untuk membungkan konstituante. Akhirnya Konstituante bubar setelah draft UUD yang baru berhasil disepakati. Dengan dalih “Persatuan dan Kesatuan” Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden yang ternyata membunuh Demokrasi yang baru bersemi, Hatta meradang karenanya, dan Buya Hamka harus mendekam di penjara karena menerbitkan tulisan Hatta yang tak terbantahkan itu, Demokrasi Kita. Kemudian ditambah lagi dalih persatuan dan kesatuan tersebutlah, PRRI-Permesta dibungkam yang akhirnya malah memberikan ruang bagi perimbangan kekuatan politik yang semu antara Soekarno-PKI dan TNI-AD.

Rezim Soekarno jatuh, namun penggantinya, Soeharto masih menggunakan instrumen “Sumpah Pemuda” sebagai alat propaganda. Hasilnya adalah stabiltas politik yang bertumpu pada peniadaan tafsir lain tentang “persatuan kesatuan”. Hanya ada tafsir tunggal tentang persatuan dan kesatuan, tafsir rezim Soeharto sendiri. Doktrinisasi politik dicangkokkan ke otak murid-murid di sekolah dengan kurikulum yang menjadi alat kekuasaan. Semua dibungkam, politik lokal mengabdi pada kemauan Jakarta, sentralisasi kekuasaan dan sentralisasi ekonomi. Orde Baru dengan perangkat kekuasaannya hadir dalam setiap ruang hidup rakyat. Bahkan dinding pun bertelinga, negara intel.

Sekali lagi rezim berganti, dan akhirnya ada perubahan, tapi tidak dengan konsep persatuan. Sebelum meninggalkan panggung politik, propagandis TNI, justru memobilisasi sebuah usaha masif untuk mengendalikan kesadaran dan ingatan politik. NKRI harga Mati. Negara kesatuan Republik Indonesia menjelma menjadi jargon-jargon politik. Sejak reformasi, NKRI menjadi jargon yang mematikan tafsir lain terhadap sistem negara. Dan seperti biasa, Sumpah Pemuda tetap sebagai instrumennya.

Inilah warisan Yamin terhadap Indonesia, sebuah sakralisasi peristiwa yang sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang dilahirkan oleh Perhimpunan Indonesia di jantung negeri penjajah. Selayaknya, manifesto politik Perhimpunan Indonesia, yang lebih radikal daripada sekedar Sumpah Pemuda menjadi konstruksi baru pada politik Indonesia. Baik pada konsep persatuan yang pluralis, persaudaraannya dan kemerdekaannya.

Bibliography

Adam, A. W., 2010. Menguak Misteri Sejarah. Jakarta: Kompas.

Anderson, B. R., 2006. Java in a time of revolution: occupation and resistance, 1944-1946. Jakarta: Equinox.

Buyung, N. A., 2000. Unitary and Federal States : Judicative Aspect. In: I. N. Bhakti, ed. Unitary State versus Federal State : Searching for Ideal Form of The Future Indonesian State. Bandung: Mizan Media Utama, pp. 38-48.

Crouch, H., 2007. The Army and Politics in Indonesia. Classic Indonesia Book ed. Jakarta: Equinox.

Dhakidae, D., 2001. Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai Komunitas-komunitas Terbayang, pengantar. In: Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Yogyakarta: Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, p. xiii.

Feith, H., 1957. The Indonesian Elections of 1955. Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Dept. of Far Eastern Studies ed. Ithaca, New York: Cornell University.

Feith, H., 1963. Dynamics of Guided Democracy. In: R. T. McVey, ed. Indonesia. New Haven, Conn: Southeast Asia Studies, Yale University, by arrangement with HRAF Press, pp. 309-409.

Feith, H., 2007. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Classic Indonesia Book ed. Jakarta: Equinox.

Foulcher, K., 1990. The Construction of an Indonesian National Culture : Patern of Hegemony and Resistance. State and Civil Society in Indonesia, pp. 301-320.

Foulcher, K., 2000. Sumpah Pemuda : The Making and Meaning of Symbol of Indonesian nationhood. Asian Studies Review, 3(24), pp. 377-410.

Gonggong, A., 2012. Kenapa Sukarno Ubah Sumpah Pemuda?. [Online] Available at: http://www.tempo.co/read/news/2012/10/28/173438118/ [Accessed 12 November 2012].

Hatta, M., 1960. Demokrasi Kita. Jakarta: Pustaka Antara.

Kahin, A., 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi : Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. 1 ed. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kartodirdjo, S., 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional (Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme). 2 ed. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Legge, J., 1961. Authority and Regional Autonomy in Indonesia : A Study in Local Administration 1950-1960. Ithaca: Cornell University.

Lev, D., 2009. The Transition to Guided Democracy. Classic Indonesian Book ed. Jakarta: Equinox.

Nasution, A., 1989. Memenuhi Panggilan Tugas : Kenangan Masa Orde Lama. 5 ed. Jakarta: CV. Haji Masagung.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun