Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Naturalisasi: Imitasi Gagal dari Kejayaan Singapura

26 November 2021   07:25 Diperbarui: 26 November 2021   07:40 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spaso pamer paspor Indonesianya (dok: instagram @spaso_87)

Ketika tulisan ini dinaikkan Timnas Indonesia sedang harum-harumnya menang atas Myanmar di laga uji coba. Akhirnya Indonesia menang atas negara yang punya peringkat FIFA lebih tinggi. Sungguh menggondol gelar juara Piala AFF sepertinya bisa dolaksakan akhir tahun ini, sesuai dengan target PSSI kepada Shin Tae-Yong.

Sebagai salah satu pendiri ASEAN dan AFF tentunya, Indonesia malah mentok cuma sampai bergelar runner-up. Lima kali Indonesia masuk final dan lima kali juga Indonesia luluh lantak di semuanya. Tiga kali timnas kalah oleh Thailand, sekali oleh negeri jiran Malaysia dan satu lagi oleh negara liliput dengan jumlah penduduk tak ada apa-apanya dibanding Jakarta.

Singapura mampu mampu juara di 2004 sebab kesuksesan program naturalisasi yang digalakkan federasinya. Melalui Daniel Bennett, Agu Casmir, dan Itimi Dickson Singapura berhasil menjungkalkan Indonesia dan menjadi juara tanpa sekalipun kalah sepanjang turnamen.

Racikan beda Singapura jelas membikin negara-negara lain penasaran. Ketika 2004 sebenarnya adalah ketiga kalinya timnas masuk final dan Thailand secara mengejutkan teringkir di fase grup. Sudah barang pasti Indonesia menyongsong trofi pertamanya.

Kemudian ternyata racikan radikal Singapura ini tak berhenti di 2004. Mereka menambah amunisinya dengan Precious Emuejeraye dan Mustafic Fahrudin di 2007. Akhirnya mereka menambah koleksi trofinya menjadi tiga. Sempat dua edisi tak juara AFF, Singapura menggenapkan catatannya menjadi empat di 2012 dengan bantuan pemain gaek Aleksandar Duric.

Jelas dengan kesuksesannya Indonesia khususnya PSSI yang masih di era Nurdin Halid ngiler dengan skema naturalisasi. Tirai penggunaan warga negara naturalisasi akhirnya diangkat setelah debutnya Cristian Gonzales. Hampir saja Indonesia mengecup Piala AFF kalau saja tak dijegal oleh Malaysia asuhan Rajagopal Krishnasamy.

Melihat lompatan itu, membuat PSSI seolah kecanduan dengan yang namanya naturalisasi. Meskipun kemudian dipimpin Djohar Arifin, untuk menyambut AFF 2012 PSSI menaturalisasi sederetan pemain-pemain asal Belanda. Muncullah nama-nama ajaib seperti Johnny van Beukering dan Tony Cussell dan Indonesia gagal lolos fase grup.

Tren terus berlanjut di 2014 dengan tambahan Sergio van Dijk dan Victor Igbonefo serta kembalinya Alfred Riedl. Namun mengulangi gelaran dua tahun sebelumnya, Indonesia gagal lolos dari fase grup. Bahkan kalah 4-0 dengan Filipina yang kala itu jauh lebih ekstrim memakai skuad naturalisasi.

Masih mencoba tambahan pemain naturalisasi di Piala AFF 2016, PSSI menggolkan nama Stefano Lilipaly yang ketika itu berstatus pemain Telstar. Masih dibawah arahan Riedl, Indonesia mampu mencapai final dan kembali dikalahkan Thailand yang berstatus juara bertahan. Kiatisuk Senamuang mengawinkan dua gelar AFF sekaligus medali emas Sea Games 2013.

Lilipaly dalam laga Asian Games 2018 (Kompas.com/Garry Lotulung)
Lilipaly dalam laga Asian Games 2018 (Kompas.com/Garry Lotulung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun