Mohon tunggu...
Reza Muhammad Nashir
Reza Muhammad Nashir Mohon Tunggu... -

S1 Program Studi Ilmu Pemerintahan 2015 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budaya Patriarki di Indonesia

8 Maret 2017   14:17 Diperbarui: 8 Maret 2017   14:25 9178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia menjadi tanah jajahan Belanda selama kurang lebih 350 tahun. Pada zaman penjajahan saat itu Belanda tidak hanya menjajah Indonesia lewat segi Sumber Daya saja, tapi juga masyarakatnya, terutama perempuan. Maka, timbul budaya yang sangat menindas terhadap perempuan saat itu, patriarki muncul ketika era penjajahan oleh kolonial Belanda. Patriarki disini dapat diartikan sebagai otoritas laki-laki yang berada diatas perempuan. 

Disitu dapat kita simpulkan bahwa perempuan menjadi makhluk yang berada di taraf sosial paling bawah. Perempuan menjadi objek penindasan yang paling menyiksa dari lahir sampai batin. Bagaimana tidak menjadi objek utama jika saat itu banyak perempuan-perempuan pribumi menjadi selir bahkan sebagai objek pemuas nafsu para penjajah. Bahkan jika laki-laki diperbolehkan untuk meneruskan pendidikan sedangkan perempuan tidak boleh karena persepsi saat itu perempuan pasti ujung-ujungnya akan Dapur, Sumur, Kasur.

Bahkan dalam melakukan aksinya tersebut, Belanda melakukan cara-cara yang licik. Termasuk memberikan kabar burung yang dilakukan hanya lewat mulut ke mulut bawahannya sampai ke orang tua yang mempunyai anak perempuan untuk menerima beasiswa sekolah yang diberikan Belanda kepada perempuan-perempuan pribumi tanpa ada pemberitahuan secara resmi. Ketika waktu yang ditentukan tiba, perempuan itu dimasukkan ke dalam kapal yang mengangkut perempuan pribumi itu. Belanda lewat isi pemberitaan palsu itu hanya sebagai modus agar perempuan pribumi bisa menjadi pemuas nafsu seks para tentara kolonial. 

Harapan perempuan-perempuan pribumi itu hanya menjadi harapan kosong untuk bisa belajar di luar negeri. Mereka menjadi pemuas nafsu seks tentara Belanda di sebuah pulau yang terpencil. Dengan iming-iming pendidikan itulah Belanda dapat dengan mudah mengelabui perempuan pribumi saat itu untuk dijadikan pemuas nafsu dan selir karena memang saat itu perempuan pribumi tidak boleh untuk mengenyam pendidikan yang tinggi.

Lalu muncullah gerakan emansipasi perempuan yang digagas oleh Raden Ajeng Kartini, dalam hal ini sebenarnya menuntuk hak perempuan terhadap pendidikan, bagaimana perempuan dapat menjadi role model dalam sosialisasi primer dikeluarga.

Di era saat ini, budaya patriarki yang sebenarnya sudah menjadi masa lalu bangsa ini masih terpelihara. Semakin meningkatnya kapitalisme di Indonesia juga semakin tingginya Patriarki tersebut. Jika era penjajahan perempuan banyak dijadikan selir atau pemuas nafsu seks koloni, sekarang perempuan dijadikan objek iklan untuk menggoda para penonton agar beli produk-produk yang di iklankan. Bahkan mirisnya perempuan tersebut dipaksa untuk tampil berani dengan membuka lekuk tubuhnya untuk menggoda penonton. Perempuan di paksa untuk memenuhi kebutuhan perusahaan, bukan untuk dipenuhi kebutuhannya. 

Walaupun saat ini perempuan telah memperoleh hak pendidikan sampai pendidikan yang paling tinggi, namun inilah faktanya hegemoni persepsi patriarki di Indonesia susah untuk dihilangkan yang sudah menjadi pegangan erat masyarakat Indonesia. Dapat dilihat meski perempuan telah melakukan pendidikan yang bebas sekalipun, namun ketika sudah nikah berumah tangga perempuan harus membagi perannya. Sebenarnya persepsi seperti itu hanya konstruksi cara berpikir masyarakat Indonesia jika dahulu perempuan hanya Dapur, Kasur, Sumur namun sekarang di bidang politik membutuhkan sekitar 30% posisi perempuan dalam partai politik.

Al-Qur’an sebagai pedoman hidup orang Islam sebenarnya telah menjelaskan terkait gender. Dalam QS An-Nisa telah menjelaskan bahwa perempuan adalah makhluk yang mulia dan harus dihormati, bukan makhluk yang lemah dan harus ditindas sedemikian rupa. Di surat An-Nisa ayat 1 pun sudah dijelaskan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama sebagai hamba Allah. Keduanya diciptakan oleh Allah dalam jiwa yang satu, artinya tidak ada perbedaan diantara keduanya. Hanya amal ibadah lah yang menjadikan perbedaan disetiap makhluk dan perbedaan dalam hal fungsi peran yang dilakukan oleh laki-laki dan permpuan. Maka Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam bentuk postur fisik yang berbeda dan emosionalnya.

Permasalahan gender di Indonesia ini menjadi persepsi masyarakat yang sudah mengakar turun-temurun, dan susah sekali untuk dihilangkan. Maka dapat disimpulkan bahwa itu hanyalah konstruksi dari masyarakat Indonesia. Tidak ada yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama jiwa yang satu dalam lingkup hamba Allah. Perempuan makhluk yang mulia dan dihormati hanya amal ibadah, fungsi dan peran yang membedakan keduanya.

-SELAMAT HARI PEREMPUAN-

Yogyakarta, 08 Maret 2017

Penulis : Reza Muhammad Nashir / Mahasiswa Ilmu Pemerintahan 2015 UMY

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun