Judul di atas mungkin terlalu straight forward, namun sebagai tifosi calcio selama 30 tahun lebih penulis merasa harus mengeluarkan analisa ini. Sebelum 2006, sepakbola Spanyol adalah media darling yang selalu menjadi favorit kejuaraan besar. Spanyol selalu menempati 5 besar favorit dari tiap kejuaraan baik itu kejuaraan eropa maupun kejuaraan dunia. Legenda-legenda mereka selalu mendominasi headlines tiap surat kabar sebelum kejuaraan dimulai. Seperti Emiliano Butragueno, Miguel Nadal, Josep Guardiola hingga Pangeran Madrid Raul Gonzalez Blanco. Namun nama besar mereka tidak cukup membawa Spanyol menjuarai turnamen besar. Tercatat setelah menjuarai Euro 1964, gelar Spanyol hanyalah Olimpiade 1992 yang diselenggarakan di Barcelona. Namun semua itu berubah setelah Luis Aragones mengambil alih Spanyol setelah gelaran Euro 2004 yang menjadi catastrophic bagi El Matador. Aragones mengubah kemediokeran dan favorit di atas kertas menjadi sebuah tim yang bermain bersama, dengan umpan-umpan khas kaki ke kaki. Terutama di Piala Eropa 2008 ketika mereka menahbiskan diri menjadi juara dengan permainan indah tiki taka dan motor pemutus serangan di kaki Marcos Senna, gelandang keturunan Brasil yang di naturalisasi oleh Spanyol.Â
Namun, apa hubungannya antara kebangkitan tiki taka Spanyol dengan keruntuhan Calcio?Â
Calcio pada intinya adalah sepakbola Italia yang berfondasi pada 3 hal penting, catenaccio yaitu seni bertahan ala Italia dengan ciri khas pertahanan yang super kuat, fantastista yaitu seniman nomor 10 yang menjadi pembeda pada tiap pertandingan dan numero nove atatcante yaitu striker nomor 9 yang menjadi goal getter dari tiap permainan Italia atau tim-tim Italia. Sebelum era tiki taka, Calcio adalah salah satu seni sepakbola yang berprestasi dengan menjuarai piala dunia 2006, selalu berkompetisi di piala dunia dengan minimal lolos ke babak gugur. Namun setelah tiki taka mendunia, calcio perlahan tenggelam dan mungkin tidak akan pernah kembali lagi mendominasi sepakbola. Memang pada Euro 2020 (atau 2021) Italia menjuarainya dengan permainan yang mengcopy tiki taka Spanyol, atau Atalanta yang menjuarai Europa League 2024 namun fondasi Italia telah luluh lantak dengan hancurnya kultur calcio yang mengerogoti Italia.
Dalam suatu wawancara, Fabio Capello maestro pelatih Italia sempat mengutarakan kritik kepada akademi sepakbola di Italia. Dia mengatakan bahwa saat ini Italia terlalu fokus kepada taktik dan "memaksa" pada pemain muda untuk belajar taktik disamping teknik. Ucapan Don Fab secara tidak langsung terbukti secara jelas dimana selama 10 tahun terakhir hanya segelintir pemain akademi Italia yang dinominasikan menjadi NXGen. Tercatat hanya, Donnarumma yang menjadi NXGen selebihnya tidak ada pemain muda Italia yang menonjol dapat dikatakan sebagai calon bintang baru. Hal ini juga dapat dilihat dari 10 tahun terakhir, hanya Jorginho gelandang kelahiran Brazil yang dinaturalisasi Italia yang menjadi kandidat Ballon Dor di tahun 2021 selebihnya tidak ada pemain Italia yang menonjol sebelum 2025 dimana Donnarumma menjadi kandidat Ballon Dr.
Dalam perjalanannya, tiki taka menghancurkan calcio secara pelan-pelan dalam hal fondasi perubahan passing, tiki taka membutuhkan posisi penjaga gawang yang dapat memainkan bola dari belakang, ini tidak biasa dilakukan oleh para legenda kiper Italia. Bahkan kapten Italia Donnarumma yang digadang kandidat Ballon Dor (satu-satunya dari Italia) tidak dapat memainkan peran itu secara maksimal yang membuat dia ditendang dari tim utama PSG. Tiki taka juga menghancurkan pertahanan catenaccio ala Italia dengan mengubah mindset libero/sweeper menjadi ball playing defender. Tiki taka mengubah posisi fantastista yang dimana seluruh pemain berubah tidak menjadi pembeda namun lebih ke permainan tim. Yang paling terasa adalah tiki taka merubah striker nomor 9 menjadi tidak berfungsi maksimal. Hal ini diakui secara gamblang oleh Luca Toni eks Striker nomor 9 terakhir Italia di videonya bersama Pep yang secara bercanda mengatakan pada Pep Guardiola bahwa Pep lah yang membuat kehilangan tipe-tipe striker nomor 9 seperti dirinya. Secara langsung pun, Spanyol pernah menghancurkan italia 3-0 pada kampanye kualifikasi Piala Dunia 2018 sehingga analisa Spanyol menghancurkan Italia cukup valid diangkat.
Pesan moral dari tulisan ini adalah, betapapun modernnya prinsip (fondasi) dari orang lain jangan pernah mencoba untuk meniru atau mengaplikasikan kepada diri anda jika anda sudah memiliki prinsip hidup. Sebab tidak semua fondasi dapat menguatkan bangunan kehidupan yang berdiri di atasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI