Mohon tunggu...
Reyhan Jauza
Reyhan Jauza Mohon Tunggu... Mahasiswa Filsafat UGM

Seorang insan yang hidup diantara ke-randoman dunia.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Kalo Kata ERK, Jatuh Cinta Itu Biasa Saja!

13 Juli 2025   15:15 Diperbarui: 13 Juli 2025   15:15 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Yogyakarta, 17 Mei 2025.

Apa momen paling berwarna dalam hidup manusia? Mungkin, salah satunya adalah saat kita jatuh cinta. Dalam banyak hal, jatuh cinta adalah sebuah pengalaman eksistensial yang menyentuh inti dari siapa kita sebagai makhluk yang merindukan keterhubungan penuh makna. Karena itulah, jatuh cinta tak pernah habis menjadi momen yang ingin diabadikan dalam berbagai bentuknya.

Bagi seorang penulis, cinta akan menjadi narasi yang tak akan pernah selesai untuk ditafsirkan; menjadi sebuah kisah yang tak pernah selesai dituliskan. Bagi seorang pembuat film, cinta akan menjelma dalam visual yang menyentuh dan membuat penontonnya ikut merasakan. Bagi seorang musisi, cinta mengalir melalui nada---nada yang riang penuh nuansa merah muda. Dan bahkan sesederhana tersenyum dan bahagia setiap waktu saat teringat ia yang kita cintai. Sampai disini, bisa dinyatakan bahwa jatuh cinta adalah momen yang sangat agung dan megah bagi siapapun yang merasakannya.

Namun itu tidak berlaku, dalam sebuah lagu yang diciptakan oleh efek rumah kaca pada tahun 2007. Ia hadir seakan dipersiapkan menjadi sebuah antitesa dari apa yang kita bayangkan tentang cinta yang fenomenal dan sakti mandraguna tersebut. Lagu itu berjudul jatuh cinta itu biasa saja. Dari judulnya saja sudah terdengar seperti pelanggaran berat terhadap konsensus budaya populer kita tentang cinta.

Di tengah dunia yang begitu gemar merayakan cinta dalam bentuknya yang paling megah. Efek Rumah Kaca justru tampil membisikkan sesuatu yang nyaris revolusioner: bahwa cinta tidak perlu dirayakan secara berlebihan, apalagi dipamerkan. Ia membuat kita membenturkan diri ke dinding-dinding imajinasi tentang cinta yang selama ini dibentuk oleh industri hiburan, iklan parfum, drama Korea, hingga unggahan-unggahan Instagram yang memperlihatkan pasangan bak tokoh dalam dongeng.

Alunan nada penuh makna yang dibawa oleh Efek Rumah Kaca dalam lagu ini terasa seperti tamparan lembut di tengah gemuruh euforia cinta yang kerap diagungkan tanpa henti. Ia memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar: Apakah cinta harus selalu spektakuler untuk dianggap nyata? Apakah kerendahan hati dalam mencintai justru bukan bentuk cinta yang paling jujur? Melalui lirik-liriknya yang sederhana, lagu ini justru mengajak kita untuk melihat cinta dari sisi yang lebih membumi. Yang tidak perlu kembang api atau janji manis untuk menjadi bermakna. Dan justru di sanalah letak keindahannya: ketika cinta menjadi biasa, ia akan menjadi lebih dekat, lebih manusiawi dan lebih bisa dirayakan oleh siapa saja.

Mari kita sejenak tenggelam bersama lebih dalam untuk memahami bahwa ini bukan hanya sekedar lagu, tetapi juga sebagai narasi alternatif tentang cinta yang layak untuk direnungkan.

Cinta Yang Nggak Haus Validasi

"Kita berdua hanya berpegangan tangan, tak perlu berpelukan."

"Kita berdua hanya saling bercerita, tak perlu memuji."

Mulai awal lagu saja, ERK sudah seperti sedang membacakan manifesto tentang cinta yang sangat sederhana. Cukup berpegangan tangan. Cukup bercerita. Tidak perlu ada pelukan tiap hari. Tidak perlu harus ada pujian tiap menit. Menunjukkan cinta dewasa yang tidak perlu sibuk membuktikan dirinya lewat gestur romantis yang berlebihan. Ia cukup hadir, cukup mendengarkan, namun senantiasa ada. Hal ini menjadi sebuah tamparan sayang di pipi, khusunya bagi kita yang hidup dibawah tekanan standart konten mesra TikTok dan Instagram. Karena mungkin kita terlalu sering mengukur cinta hanya menggunakan sesuatu yang tampak. Padahal, justru yang tidak dipertontonkan seringkali lebih tulus. Kayak cinta ayah kita yang nggak pernah bilang "sayang" tapi rela nganter jemput pagi-sore demi kita bisa sekolah.

Cinta Itu Memahami

"Kita berdua tak pernah ucapkan maaf, tapi saling mengerti."

Jika kita telaah, Ini bukan tentang ajakan buat jadi pasangan yang gengsi minta maaf, Bukan, Bahkan lebih jauh, Ini lebih soal tentang bagaimana cinta yang dapat melampaui semua formalitas. Kata maaf, tentu saja sangat penting. Tapi kalau cinta sudah sampai tahap saling memahami tanpa perlu seremonial maaf-maafan, itu artinya menandakan sebuah kedewasaan emosional yang matang. Cinta macam ini nggak melulu butuh drama. Tidak semua konflik harus diselesaikan lewat kata-kata yang manis. Kadang cukup diam bareng di angkringan, makan gorengan satu piring dan biarkan semua perlahan reda sendiri.

Cinta Itu Dihidupi

"Kita berdua tak hanya menjalani cinta, tapi menghidupi."

Nah, ini. Ini bagian paling filosofis dan paling dalam. Memang bedanya apa sih? Menjalani cinta itu tindakan pasif. Kayak naik perahu tapi diem saja dan hanya mengikuti arus. Tapi menghidupi cinta? Itu adalah tindakan aktif. Kita yang mendayung dan kita jugalah yang menjaga agar perahu itu nggak bocor. Meski terkadang kita harus susah-susah mendayung pakai sandal. Menghidupi cinta itu bukan hanya sekedar status di bio instagram. Menghidupi cinta itu seperti kerja bareng. Bukan cuma berdua di foto, tapi juga berdua di saat sepi. Bukan cuma bilang sayang, tapi juga bisa diam bareng tanpa canggung. Menghidupi cinta berarti merawatnya dengan sadar. Tidak cuma menikmati perasaan, tapi juga siap menanggung beban realitas. Cinta bukan cuma tentang berbagi tawa, tapi juga berbagi tangis bahkan cucian piring-hehe.

Cinta Itu Membebaskan

"Ketika rindu menggebu-gebu, kita menunggu."
 "Saat cemburu kian membelenggu, cepat berlalu."

Lagu ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang bagaimana seharusnya mengelola emosi dalam cinta. Rindu yang sabar dan cemburu yang tidak posesif. Tidak semua rindu harus langsung ditumpahkan. Terkadang, menunggu adalah bentuk cinta juga. Dan soal cemburu? Efek Rumah Kaca menolak glorifikasi cemburu sebagai bumbu cinta. Cemburu yang membelenggu bukan romantis, malah bisa jadi itu toksik. Kalau kamu masih bilang, "aku cemburu karena aku cinta kamu". Coba pikir ulang. Bisa jadi itu bukan cinta, tapi rasa kepemilikan. Hal ini sekilas mengingatkan saya pada para pemikir eksistensialis yang banyak menyatakan bahwa cinta sejati itu tidak membelenggu. Karena cinta adalah pertemuan antara dua makhluk yang bebas dan bukan sebagai dua orang yang saling mengontrol.

Cinta Itu Tidak Buta

"Jika jatuh cinta itu buta, berdua kita akan tersesat."
"Saling mencari di dalam gelap, kedua mata kita gelap, lalu hati kita gelap."

Kalau dua orang sama-sama buta bahkan kehilangan logika karena cinta seperti dalam lagunya Agnes Monica. Lalu siapa nantinya yang akan menunjukkan arahnya? Lagu ini menolak mitos kuno bahwa cinta itu buta. Karena cinta yang sehat justru membuat kita lebih sadar terhadap diri sendiri dan pasangan. Cinta bukan tentang kehilangan akal. Bukan juga hilang kendali. Kalau cinta membuat kita kehilangan arah hidup. Mungkin itu bukan cinta, tapi ilusi yang kita pelihara karena terlalu menonton film cinta yang terkadang berlebihan.

Jatuh Cinta Itu Biasa Saja, Tapi Justru di Situ Letak Istimewanya

ERK bak seperti pesulap yang sedang menghinoptis para pendengarnya. Karena pengulangan frasa "jatuh cinta itu biasa saja" di akhir lagu ini terdengar seperti sebuah mantra yang bisa membuatnya masuk ke alam bawah sadar kita. Frasa ini tentu tidak ada maksud untuk merendahkan cinta. Justru untuk membebaskannya. Cinta yang terlalu diagung-agungkan akan berubah jadi beban. Kita jadi sibuk memolesnya agar terlihat sempurna. Padahal yang paling penting adalah menjalaninya dengan sukacita. Bukan tentang cinta yang membakar. Tapi tentang cinta yang menghangatkan.

Bagi saya lagu cinta ini dilahirkan sebagai sebuah ajakan untuk mencintai dengan sadar. Bukan dengan gegap gempita. Bentuk cinta yang tidak harus diumumkan tiap hari di media sosial. Cinta yang tidak selalu harus membelikan hadiah coklat setiap valentine. Tapi tentang cinta yang hadir untuk mengerti dn bertahan bahkan dalam keheningan.

Efek Rumah Kaca berhasil menyampaikan sesuatu yang sering luput: bahwa cinta tidak harus luar biasa agar layak disebut cinta. Justru dalam kebiasaannya dan dalam kesunyiannya. Cinta bisa tumbuh paling dalam. Dan kalau kamu saat ini merasa sedang jatuh cinta, tapi kok nggak se-heboh orang-orang di medsos, nggak apa-apa. Mungkin justru kamu sedang merasakan cinta yang paling jujur: yang nggak banyak suara tapi mengakar kuat pelan-pelan dalam dirimu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun